Pemikiran itu relevan dengan kian nyatanya ancaman terorisme. UU No 15/2003 diangkat dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1/2002 beberapa saat setelah bom Bali meletus. Ancaman terorisme kian nyata, bahkan cenderung makin membahayakan eksistensi negara bangsa. Ideologi kekerasan yang dilakukan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) merupakan ancaman nyata di belahan dunia, termasuk Indonesia.
Tidak kurang Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj pernah mengatakan, Indonesia berada dalam situasi darurat terorisme. Ada gelombang kepulangan warga negara Indonesia pendukung NIIS dari Suriah. Bahkan, kelompok ini sudah berani menyatakan eksistensi mereka di depan publik.
Bagaimana negara menanggapi kemunculan kelompok radikal itu, itulah yang menjadi pertanyaan sekarang. Negara tidak punya instrumen untuk menindak warga negaranya yang menyatakan setia kepada kelompok tertentu, termasuk NIIS. Atau menindak secara hukum kelompok yang menyatakan dukungannya secara terbuka kepada kelompok tertentu. UU Terorisme tidak mampu menjangkau itu.
Situasi itulah yang mendorong Presiden Joko Widodo mengundang pimpinan lembaga negara untuk membahas rencana revisi UU Terorisme. Revisi UU Terorisme masuk akal, tetapi tetap harus dilakukan dengan hati-hati. Jalan hukum merupakan jalan sah untuk menindak tindakan terorisme di negara demokrasi. Namun, bagaimana UU Terorisme itu juga memberikan ruang yang cukup untuk mencegah aksi teror sebelum meletus.
Mengutip pandangan Ihzan Ali Fauzi, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Paramadina, perilaku teroris selalu diawali dengan proses radikalisasi, meski tidak semuanya yang radikal akan bermuara pada aksi teror. Menjerat semata-mata kelompok radikal dengan instrumen hukum tentu akan memicu kontroversi di masyarakat. Karena itulah, ruang publik demokrasi harus dibuka untuk mencari cara secara bersama-sama mengantisipasi ancaman teroris di Tanah Air. Revisi UU Terorisme menjadi keniscayaan. Instrumen hukum selalu tertinggal dengan perkembangan gerakan terorisme yang kian nyata dan kian berbahaya.
Revisi UU Terorisme juga harus mencakup bagaimana pola pemasyarakatan narapidana terorisme di lembaga pemasyarakatan dan setelah mereka bebas. Siapa yang akan mengawasi ketika ada kecenderungan bahwa lembaga pemasyarakatan malah menjadikan orang kian radikal.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Memperkuat Pencegahan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar