Sungguhpun demikian, ketika memasuki masa berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN(MEA) pada 2016, persepsi masyarakat Indonesia pada umumnya adalah bahwa masyarakat negara-negara ASEAN mulai memasuki erapersaingan dalam pasar bebas. Dengan perkataan lain, telah terjadi proses liberalisasi, khususnya dalam perdagangan dan investasi.
Dalam persepsi seperti itu timbul pertanyaan, apakah masyarakat Indonesia telah siap? Di sana tersirat suatu kerisauan, sehingga Presiden Joko Widodo mengimbau agar masyarakat tak risau, tetapi menghadapinya dengan optimisme dan yang penting mempersiapkan diri dalam menghadapi persaingan itu.
Sebenarnya, siap atau tidak, masyarakat di tiap negara telah memiliki kondisi sendiri-sendiri yang mencerminkan tingkat perkembangan dan daya saing ekonomi masing-masing. Misalnya, tingkat tertinggi kesejahteraan menurut Indeks Pembangunan Manusia adalah Singapura, bahkan negara itu tergolong kelompok 10 negara termaju di dunia. Sementara Indonesia jatuh ke nomor 5 di ASEAN. Di lain pihak Indonesia juga di posisi ke-5dalam kebersihannya dari korupsi. Tingkat korupsi ini cermin tingkatefisiensi yang memengaruhi daya saing ekonomi makro.
Daya saing didukung oleh tiga komponen. Pertama, faktor produksi, berupa sumber daya alam (SDA) yang menghasilkan bahan mentah yang murah dan sumber daya manusia (SDM) yang menyediakan buruh dengan upah murah.Sejak Orde Baru, kedua faktor itu dianggap sebagai keunggulan komparatif. Kedua, sistem kelembagaan yang dinilai dari segi efisiensi. Ketiga, inovasi yang didasarkankemajuan teknologi dan ketersediaan modal.
Di era MEA, komponen daya saing pertama harus diubah dengan memproses bahan mentah yang menghasilkan nilai tambah sehingga bisa meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan tenaga kerja. Perubahan itu perlu dukungan kelembagaan,khususnyabirokrasiyang efisien dan bersih dari korupsi. Demikin pula lembaga perusahaan dengan dukungan perbankan harus melakukan inovasi.
Menurut pandangan liberal, daya saing dipengaruhi derajat kebebasan ekonomi. Kian bebas sistem ekonomi, daya saing akan meningkat. Sementara kebebasan ekonomi dilihat dari minimnya pengendalian pasar oleh negara yang makin kuat institusinya. Adapun kekuatan negara, menurut Jusuf Kalla, bergantung pada besarnya anggaran.
Pada 2014, Indeks Kebebasan Ekonomi Indonesia di lingkup MEA jatuh ke posisi ke-6. Artinya pengendalian pasar oleh negara relatif kuat sehingga kurang bebas. Tetapi, paradoksnya dari sudut pandangan liberal,daya saing perekonomian Indonesia ternyata relatif baik, yaitu jatuh di posisi ke-4. Paradoks ini dapat dijelaskan dengangejala "the end of laissez-faire" yang pernah ditulis Sri-Edi Swasono, bahwa pengendalian pasar oleh negara, yaitu melalui regulasi,perencanaan dan intervensi kebijakan pemerintah,tidak harus menurunkan daya saing. Bahkan dalam kasus Indonesia, ia meningkatkan daya saing perekonomian.
Pentingnya kerja sama
Ketika era MEA sudah berlaku, maka semua masyarakat ASEAN, sama halnya di Indonesia, diharuskan oleh pemerintah masing-masing agar merasa optimistisdan bersikap "siap atau tidak siap, harus siap" menghadapi perekonomian bebas. Namun, posisi masyarakat masing- masing dalam daya saing sudah terkondisikan, walaupun hanya Singapura yang paling kuat daya saingnya. Karena itu, yang merasa ketinggalan akan berusaha meningkatkan daya saing mereka. Inilah yang mendorong sektor pemerintahuntuk bersikap membangunkerja sama.
Tetapi, di lain pihak peranan pemerintah akan makin kuat untuk memberdayakan perusahaan-perusahaan dan kluster industri untuk meningkatkan daya saing dalam menghadapi lingkungan pasar bebas.Dengan demikian, yang terjadi adalah dualisme, kerja sama di tingkat pemerintah dan persaingan pada tingkat swasta.
Masalahnya, apa yang bisa dikerjasamakan? Tentu saja yang bisa dikerjasamakan adalah yang menyangkut kepentingan bersama.Misalnya, peningkatan mutu SDM. Hal ini bisa dilakukan melalui kerja sama antarperguruan tinggi sebagai aspek faktor produksi yang mempengaruhi daya saing MEA.Kedua, pembangunan infrastruktur dalam pembangunan tol laut yang bisa memperlancar perdagangan intra ASEAN. Ketiga, pengembangan industri keuangan yang bisa menciptakan inklusi finansial guna mendukung inovasimelalui penggunaan teknologi maju.
Dari segi pasar bebas yang berintregrasi, persainganterjadi tidak saja intra, tetapi juga ekstra ASEAN. Persaingan intra terjadi karena kesamaannya dalam pola pembangunannya yang berbasis pada SDA dan jenis produk ekspor yang sama keluar pasarASEAN. Masalah ini dapat dipecahkan dalam aspek kondisi permintaan atau pasar, yaitu melalui program perluasan pasar. Misalnya dalam produksi briket biomassa untuk pasar-pasar Asia Timur, Timur Tengah, dan Eropa. Dalam kasus briket biomassa,MEA memiliki keunggulan komparatif, karena itu produk ekspor bisa dijadikan basis bagi ketahanan energi intra ASEAN.
Dalam masalah ketahanan energi, Indonesia bisa belajar pada kebijakan energi negara-negara ASEAN yang tidak memiliki SDA energipertambangan, khususnya Singapura, Thailand, atau Filipina.Industri pengolahan migas bisa mengikuti pola industri pupuk ASEAN dengan mengolah bersama bahan mentah dari Brunei, Malaysia, dan Indonesia, yang berlokasi bisa di Batam, umpamanya.
Organisasi supra-nasional dan program regional sangat bergantung pada pembiayaan bagi proyek-proyek kerja sama yang dipelopori oleh pemerintah. Tetapi, masalah pembiayaan ini dapat diatasi jika daya saing regional ASEANmampu menciptakanpertumbuhanekonomi MEA yang dewasa ini produk domestik bruto (PDB)-nya barusekitar 2,7 triliun dollar AS, yang nilai ekspornya mencapai 1,2 triliun dollar AS atau 54 persen dari PDB-nya. Kerja sama antarnegara MEA mungkin dilakukan karena orientasi pasarnya sama-sama Asia Timur dan Eropa.
Kekuatan regional
Kekhawatiran Indonesia adalah bahwa negara-negara ASEAN lainnya hanya memanfaatkan Indonesia sebagai pasar karena 250 juta penduduknya dan kekayaan SDA-nya untuk dieksploitasi. Tingkat upah buruhnya juga murah, tetapi mutu SDM-nya juga tidak tinggi.
Akan tetapi, mutu SDM yang tidak tinggi ini dapat menjadi kekuatan daya saing regional jika kerja keras menjadi unggulannya apabila Bangkok menjadi ukuran, yaitujam kerja di atas 2.000jam per tahun. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan jam kerja di Singapura yang lebih rendah, maka gejala ini lebih mencerminkan lebih tinggi penggunaan teknologinya yang lebih mengefisienkan kerja. Artinya, jika jam kerja dan penggunaan teknologi bisa dikembangkan, maka daya saing regionalMEA akan unggul.
Sebagai kesimpulan, kerja sama MEA yang dipelopori oleh pemerintahakan memungkinkan peningkatan daya saing regional dalam perluasan pasar. Pasar domestik MEA akan bisa lebih kuat jika daya beli MEA juga meningkat, seiring dengan menguatnya daya saing perusahaan-perusahaan yang cenderung bersaing, terutama dengan inovasi yang berbasis teknologi. Jika daya saing perusahaan MEA tidak meningkat, MEA hanya akan dimanfaatkan oleh kekuatan regional lainnya, khususnya Asia Timur.
M DAWAM RAHARDJO, DIREKTUR LEMBAGA STUDI ILMU-ILMU KEMASYARAKATAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "MEA: Kerja Sama atau Persaingan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar