Di DPD RI wacana ini sudah lama berkembang dan telah tersusun rancangan amandemen yang diperlukan. Kami menyebutnya penyempurnaan sistem ketatanegaraan. Karena itu, ide kembali memiliki GBHN sejalan dengan perkembangan pemikiran di DPD. Kesadaran ini juga berkembang di lembaga lain dan partai lain. Kita perlu arah yang jelas dalam jangka panjang agar dapat menyusun rencana jangka pendek dan menengah. Dalam konteks DPD, misalnya, pada kurun waktu satu tahun telah dihasilkan 10 RUU inisiatif di antara 57 keputusan yang dibuat. Sebuah angka yang produktif dalam pelaksanaan tugas yang singkat.
Sepuluh RUU itu merata dihasilkan oleh empat komite yang ada di DPD dan satu alat kelengkapan tetap yang bernama Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU). Komite 1 menghasilkan RUU tentang Pertanahan, Komite 2 tentang Pengadaan Barang dan Jasa serta tentang Sistem Budidaya Tanaman. Komite 3 menghasilkan RUU tentang Ekonomi Kreatif dan tentang Bahasa Daerah. Komite 4 mengajukan RUU inisiatif merevisi UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Adapun PPUU menghasilkan empat RUU inisiatif: tentang Wawasan Nusantara, tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, tentang Perubahan atas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan RUU tentang Perubahan Ke-2 atas UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Jika dilihat dari cakupan materi RUU, terlihat spektrum yang luas. Dari ekonomi sampai budaya. Dari politik sampai hak atas tanah. Dalam jangka tiga tahun ke depan, dengan harapan produktivitas DPD terus meningkat, dapat dihasilkan keragaman dan keluasan lebih jauh. Ini memerlukan haluan negara dan pembangunan yang lebih jauh dari jangkauan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sebagaimana diamanatkan UU No 17 Tahun 2007. Sebuah haluan ke masa depan yang operasional dalam tahap pengembangan pembangunan masa kini.
Amandemen kelima UUD
Menghidupkan kembali GBHN memerlukan perubahan UUD 1945 meskipun opsi lain bisa saja tersedia. Amandemen kelima merupakan jalan terbaik yang sesungguhnya sudah dirintis sejak periode parlemen 2009-2014. Dimulai dengan forum-forum bersama yang diinisiasi DPD, MPR akhirnya membuka peluang melalui pembentukan Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia (KKSKI) sebagai hasil Rapat Gabungan MPR RI, 19 Juli 2012. Pembentukan ini termaktub dalam Keputusan Pimpinan MPR No 5/PIMP/2012 tertanggal 1 Oktober 2012. Tujuan utama tim ini ialah menghasilkan Rekomendasi Perubahan Kelima UUD 1945.
Tim KKSKI bekerja dengan dasar sepuluh isu strategis hasil kajian Kelompok Anggota DPD di MPR yang dirintis sejak akhir periode 2004-2009, yang melibatkan hampir semua perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. Yakni, memperkuat sistem presidensial, memperkuat lembaga perwakilan, memperkuat otonomi daerah, calon presiden perseorangan, pemilahan pemilu nasional dan pemilu lokal (yang terlaksana mulai tahun ini), forumprevilegiatum, optimalisasi peran Mahkamah Konstitusi, penambahan pasal hak asasi manusia, penambahan bab komisi negara, penajaman bab tentang pendidikan dan perekonomian.
Dalam perjalanan sekitar dua tahun, tim berhasil melakukan penajaman-penajaman yang disepakati bersama untuk disiapkan menjadi rekomendasi. Poin menghidupkan kembali GBHN masuk sebagai bentuk modifikasi yang direncanakan dengan bahasa resmi, "Melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN sebagai haluan penyelenggaraan negara". Inilah cikal bakal "formal" merebaknya isu GBHN perlu kembali dihidupkan, yang tercantum sebagai rekomendasi nomor 2 dalam Keputusan MPR RI Nomor 4/MPR/2014 tentang Rekomendasi MPR RI Masa Jabatan 2009-2014.
Rekomendasi terdiri atas tujuh poin. Selain nomor 2 di atas, enam poin lain: (1) melaksanakan penataan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan UUD 1945 dengan tetap berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai segala sumber hukum negara; (3) melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika secara melembaga melalui semua tingkatan pendidikan nasional dalam rangka pembangunan karakter bangsa; (4) membentuk lembaga kajian yang secara fungsional bertugas mengkaji sistem ketatanegaraan, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika serta implementasinya.
Kemudian; (5) mewujudkan akuntabilitas publik lembaga negara dalam melaksanakan tugas konstitusional yang diamanatkan UUD 1945 melalui laporan kinerja pelaksanaan tugas dalam Sidang Tahunan MPR; (6) melakukan penataan sistem peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara; (7). memperkuat status hukum Ketetapan MPRS dan MPR dalam sistem hukum Indonesia.
Rekomendasi ini mengikat untuk ditindaklanjuti oleh MPR RI periode berikutnya, yakni periode saat ini, 2014-2019. Untuk itu, MPR telah membentuk Badan Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia sebagai alat kelengkapan MPR yang dipimpin anggota DPD RI, yang telah bekerja sejak akhir 2014.
Kedewasaan politik
Pembicaraan mengenai GBHN dan Perubahan Kelima UUD 1945 yang terjadi di awal 2016 memberi harapan terjadinya penyempurnaan sistem ketatanegaraan. Ada suasana keterbukaan dan kedewasaan politik yang makin baik. Paling menonjol yang terjadi akhir 2015. Penyelenggaraan pilkada serentak yang membetikkan waswas telah berjalan dengan baik. Memang ada sejumlah catatan, tetapi persoalan-persoalan utama masuk ke jalur hukum, lainnya terjaga dengan baik. Bukan dengan cara represif, melainkan mengemukanya kesadaran bahwa politik bukanlah urusan pribadi dan golongan, melainkan urusan bangsa dan negara.
Demikian juga yang terjadi di ujung apa yang disebut kegaduhan politik. Baik yang menyangkut orang maupun parpol, yang gaungnya luar biasa, dapat selesai dengan baik dan tenang. Ada perkembangan positif sikap kenegarawanan yang terjadi di tingkat nasional maupun lokal.
Sikap PDI-P sebagaimana rekomendasi rakernasnya, yang bisa saja akan sejalan dengan partai-partai anggota koalisinya, membuka ruang Perubahan Kelima UUD 1945, adalah perkembangan yang menggembirakan bagi penyempurnaan sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan adanya ruang itu, konstitusi kita menjadi bersifat living constitution, suatu bentuk konstitusi yang sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman, yang hanya dapat dicapai oleh situasi dan kondisi tertentu, yakni tingkat kedewasaan politik yang mencukupi. Berbagai peristiwa politik sepanjang 2015 dan awal 2016 memperlihatkan tingkat kedewasaan yang terus membaik. Itu cukup memberi kita dasar untuk mengatakan, ini tahun yang memberikan harapan bagi konstitusi.
GKR HEMAS, WAKIL KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH RI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Tahun Harapan Konstitusi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar