Harian ini, Rabu (24/2), menurunkan berita tentang meningkatnya perdagangan senjata dunia selama 2011- 2015. Menurut data Institut Kajian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI), volume perdagangan naik 14 persen dibandingkan periode sebelumnya. Konflik di Yaman, Suriah, dan Libya mengakibatkan perdagangan senjata ke negara-negara di kawasan itu naik berlipat-lipat. Impor senjata Arab Saudi naik 275 persen, Uni Emirat Arab (UEA) naik 35 persen, dan Qatar naik 279 persen.
Perebutan supremasi kekuatan di kawasan, antara lain, menjadi pemicu perlombaan senjata. The New York Timespada akhir tahun lalu memberitakan bocoran surel tentang UEA yang mengirim secara ilegal persenjataan ke kelompok anti Islamis di Libya. Langkah UEA adalah untuk melemahkan gerakan kelompok Islamis yang didukung oleh Qatar. Yang terjadi adalah perang proksi.
Bisa dilihat juga bagaimana Arab Saudi, UEA, Qatar, Bahrain, Jordania, dan Mesir memperoleh kemudahan membeli senjata dari Amerika Serikat. Tentulah ada kepentingan AS di situ. Negara-negara Arab itu kini ramai-ramai "mengeroyok" Iran yang memperoleh pasokan senjata dari Rusia. Situasi ini menguntungkan AS dan Israel yang sejak lama merasa terancam oleh Iran.
Contoh lain bagaimana perimbangan kekuasaan di kawasan dimainkan lewat persenjataan bisa dilihat dari AS yang menjual persenjataan senilai 1,8 miliar dollar AS kepada Taiwan tahun lalu. Kebijakan ini membuat Beijing meradang. Namun, bagi AS, langkah ini perlu dilakukan karena Tiongkok telah menempatkan rudal-rudalnya di posisi yang bisa membahayakan Taiwan. Walaupun persenjataan Taiwan kalah jauh daripada Tiongkok, sinyal yang diberikan AS sangat kuat. Menyerang Taiwan berarti berhadapan dengan AS.
Contoh-contoh itu menunjukkan bagaimana "perdamaian" kawasan dipelihara melalui langkah-langkah keamanan (perlombaan senjata). Perlombaan persenjataan modern menimbulkan kengerian akan eskalasi konflik di kawasan. Namun, ironisnya, para pihak terkait justru meyakini, kecanggihan persenjataan akan menjadi efek deterens bagi pihak lawan. Artinya, "perdamaian" (untuk tidak saling menyerang) bisa diterapkan ketika kedua pihak merasa sama-sama kuat dan juga sama-sama gentar.
Yang ditakutkan, ketika perang benar-benar terjadi dan senjata-senjata itu digunakan. Rakyat sipil selalu menjadi korban. Inilah yang sedang kita saksikan saat ini. Jutaan pengungsi sipil menyelamatkan diri dari wilayah konflik di Afrika dan Timur Tengah. Mereka harus menyabung nyawa untuk mencari perlindungan di negara lain. Pada saat yang bersamaan produsen senjata menikmati keuntungan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul ""Damai" Melalui Senjata".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar