Sebuah kombinasi antara cara yang keras dan lunak diperlukan untuk menghadapi ekstremisme dan terorisme. Hal itu dikemukakan Presiden Joko Widodo saat memimpin sesi pembahasan tentang terorisme dalam acara Retreat II pada hari terakhir Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-Amerika Serikat, Selasa (16/2) malam atau Rabu pagi (WIB).
Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi menggarisbawahi tiga hal. Pertama, mempromosikan toleransi dalam memerangi terorisme dan ekstremisme. Kedua, mengatasi akar penyebab masalahnya, dan, ketiga, menciptakan kondisi-kondisi yang kondusif.
Untuk cara yang keras, Indonesia saat ini tengah mengkaji ulang UU Terorisme dalam upaya memperkuat payung hukum untuk mengatasi terorisme. "Tentunya penguatan UU itu dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak asasi manusia," kata Jokowi. Adapun untuk cara yang lunak, pemerintah menjalankan pendekatan religius dan kebudayaan dengan melibatkan masyarakat dan organisasi-organisasi keagamaan. Pemerintah juga mendiversivikasi pendekatan untuk melakukan deradikalisasi dan melawan radikalisasi. Di samping itu, pemerintah telah melakukan program rehabilitasi dan mengintegrasikan kembali narapidana terorisme kepada masyarakat.
Tidak ada yang salah dengan isi pidato Presiden Jokowi dalam pertemuan yang bertema "Menjaga Perdamaian, Kemakmuran, dan Keamanan di Asia Tenggara", yang dihadiri 10 kepala pemerintahan ASEAN dan Presiden AS Barack Obama. Namun, kita tahu bahwa apa yang dikemukakan Jokowi itu baru apa yang dilakukan Indonesia dalam upaya memerangi terorisme dan ekstremisme di dalam negeri.
Yang kita ingin dengar adalah apa langkah-langkah yang dilakukan negara-negara ASEAN untuk menghadapi terorisme secara bersama-sama dan terintegrasi. Sebab, sudah menjadi "pengetahuan umum" bahwa orang-orang yang dikategorikan sebagai teroris dan ekstremis itu di masa lalu bergerak secara relatif bebas di ASEAN. Itu sebabnya, penting sekali bagi negara-negara ASEAN untuk bekerja sama dan saling menukar informasi intelijen sehingga pergerakan orang-orang itu terdeteksi dan dapat ditangkap sebelum mereka melancarkan aksinya.
Apalagi, akhir-akhir, ini banyak warga negara dari banyak negara di dunia, termasuk negara-negara ASEAN, yang ikut bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) berperang di Suriah. Mereka ini tidak boleh lolos dari pengamatan aparat agar mereka dapat didekati, disadarkan, dan dirangkul kembali. Langkah ini tidak mudah, itu pasti, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Hadapi Teror secara Terintegrasi".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar