Akhir Desember 2015, Kementerian Perdagangan memberi angin segar bagi dunia usaha dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 118 tentang Importir Produsen untuk uji pasar, barang komplementer, dan juga pelayanan purnajual. Peraturan berlaku efektif per 1 Januari 2016.
Peraturan tersebut memungkinkan perusahaan pemegang API-P mengimpor barang jadi setelah mendapatkan izin importir produsen dari Kemendag. Untuk itu, perusahaan harus mengurus rekomendasi terlebih dahulu yang diterbitkan oleh kementerian teknis terkait, misalnya Kementerian Perindustrian.
Peraturan dan kemudahan dari Kemendag belum didukung sepenuhnya Kemenperin. Perusahaan yang mengajukan surat rekomendasi kepada Kemenperin khususnya di Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika sampai 12 Februari 2016 belum bisa dilayani. Alasannya belum ada petunjuk teknis/tata cara pemberian rekomendasi dari Kemenperin (memo dinas terlampir).
Hal tersebut menunjukkan tidak adanya koordinasi antarinstansi, merugikan dunia usaha, dan sekaligus menambah ketidakpastian atas iklim usaha di Indonesia. Padahal, pelaku usaha membutuhkan kepastian agar bisa menjalankan usaha dengan baik dan tidak kebingungan dengan peraturan yang tidak bisa ditindaklanjuti.
AGUNG KURNIAWAN
Jl Berbek Industri III, Sidoarjo 61256
Tidak Terima Pensiun
Saya, Lia Yuliantini, jenis pensiun 1112, nomor pensiun: 13184939100 kantor bayar BRI Bogor, KCP IPB. Sejak November 2015 sampai sekarang, saya tidak menerima pensiun atas nama suami, Dwi Joko Setyono. Almarhum adalah dosen IPB.
Saya sudah melapor dan mendatangi kantor Taspen Bogor setiap bulan untuk konfirmasi. Menurut Taspen Bogor, saya harus melampirkan surat tidak menikah lagi. Persyaratan itu sudah saya penuhi, tetapi jawaban dari petugas Taspen Bogor masih akan disurvei lagi ke tempat tinggal saya sekarang.
Saya sangat membutuhkan gaji tersebut untuk keperluan pendidikan anak-anak dan biaya hidup sehari-hari.
LIA YULIANTINI
Jalan TB Hasan, Kampung Ciseke, RT 003 RW 002, Desa Jatimulya, Rangkasbitung, Lebak, Banten
PT Ikagriya Ingkar Janji
Tahun 2011 saya membeli rumah kluster WD1/25 di Residence One, untuk menghabiskan sisa hidup kami yang sudah berusia di atas 80 tahun.
Awal 2012 saya menambah ruang dengan menunjuk kontraktor PT Ikagriya Darmapersada atas saran Project Manager ASG karena kontraktor ini yang membangun rumah awal. Dalam kontrak renovasi, antara lain tercantum jaminan konstruksi selama 10 tahun.
Pertengahan 2012 renovasi selesai dan saya dan istri mulai menempati rumah itu. Namun, baru 3,5 bulan pada bangunan asli maupun tambahan ada kebocoran pipa air dan semua dinding kamar tidur retak. Retak di dinding, juga dinding sekitar jendela dan pintu, terus muncul. Penyebabnya, tidak ada sloofdan kolom praktis yang seharusnya ada menurut gambar.
Perbaikan yang dilakukan Ikagriya sekadarnya, hanya mengoleskan adukan semen tanpa dikerok. Maka, retak malah menjadi lebih dalam dan lebar.
Khusus retak dinding di sekitar jendela dan pintu akibat tiadanya kolom praktis, usulan saya dibuatkan siku beton bertulang disetujui dan telah meniadakan terulangnya retak.
Dua tahun lalu, rumah sebelah kiri saya bocor pipa airnya dan tembus mengalir ke rumah kami, walaupun setiap rumah ada dinding beton. Setelah itu bergantian rumah sebelah kanan saya juga bocor. Airnya menembus mengalir hingga ruang tamu kami. Kebocoran dapat menembus dua dinding karena beton tak diperkuat kolom praktis dan sloof.
Akibat kebocoran ini, pada November 2015 meja tulis dan lemari buku kami dimakan rayap. Waktu lantai dibor untuk memasukkan obat anti rayap, baru ketahuan bahwa di bawah lantai keramik samping dinding beton tak ada fondasi/vloer.
Karena segala macam masalah itu, pada November 2015 saya komplain. Saya ingin bertemu Direktur Ikagriya Robert Chia, namun Saudara Robert tak mau menemui saya. Pesan singkat saya melalui HP yang bersangkutan maupun HP mandor lapangan, Saudara Nana, tak dapat masuk.
Kami sungguh menderita dan amat dirugikan, karena bangunan terus-menerus rusak, hampir setiap empat bulan.
JAHJA GOTAMA
Jelupang, Serpong Utara
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar