Ketiga pengunduran diri itu tak terlepas dari isu perpanjangan dari kontrak Freeport yang akan berakhir 2021. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perpanjangan paling cepat diajukan dua tahun sebelum kontrak berakhir, yaitu 2019. Namun, kondisi internal perusahaan dan regulasi menyebabkan Freeport sulit menunggu tiga tahun lagi.
UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara mensyaratkan perusahaan tambang membangun smelter untuk mengolah dan memurnikan bijih tambang di dalam negeri. Pembangunan smelter Freeport diperkirakan butuh biaya 2,3 juta dollar AS (sekitar Rp 31 triliun).
Lebih lanjut lagi, cadangan mineral Grasberg yang selama ini digali dengan metode terbuka (open pit) Freeport akan terkuras habis pada pertengahan 2016. Sasaran berikut adalah cadangan tembaga dan mineral yang berada pada posisi cukup dalam sehingga perlu menggali terowongan (underground mining) dengan biaya lebih tinggi. Estimasi investasi yang diperlukan 81 miliar dollar AS atau Rp 1.215 triliun.
Padahal, laporan keuangan perusahaan induk Freeport 2014 menyatakan kerugian 1,3 miliar dollar AS (setara Rp 18 triliun). Laporan keuangan 2015 belum keluar, tetapi dengan turunnya harga komoditas akan sulit meraih untung. Lebih parah lagi, upaya diversifikasi dengan pembelian ladang minyak di Meksiko beberapa tahun lalu juga jeblok dengan rendahnya harga minyak dunia. Akibatnya, saham induk perusahaan Freeport jatuh dari 60 dollar AS di akhir 2010 menjadi hanya 3,5 dollar AS awal Januari 2015.
Kondisi keuangan perusahaan yang seret dan merugi menyebabkan Freeport perlu merayu bank investor untuk membangunsmelter dan tambang bawah tanah, tetapi tanpa kepastian perpanjangan kontrak, hanya sedikit bank dan investor yang berani mengambil risiko.
Di ujung tenggat ketentuan divestasi, PT FI mengumumkan penawaran saham 10,96 persen dengan nilai 1,7 miliar dollar AS, atau setara Rp 23,7 triliun, di mana pemerintah mempunyai hak pertama untuk membeli. Apakah sebaiknya pemerintah membeli atau tidak? Apa konsekuensi dari tiap pilihan?
Sebelum menganalisis kondisi dan kebijakan untuk Freeport masa kini, perlu dipahami konteks historisnya. Orde Baru dimulai dengan menghadapi rendahnya pertumbuhan dan tingginya kemiskinan serta rendahnya penerimaan negara sehingga wajar salah satu prioritas utama pemerintah masa itu adalah menarik investasi asing. UU No 1/1967 tentang Modal Asing dan UU No 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan memberikan posisi yang amat kuat pada penanam modal.
Dengan kondisi ekonomi dan posisi tawar yang lemah, pada 7 April 1967 Pemerintah Indonesia menandatangani kontrak karya (KK) dengan PT FI, anak perusahaan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc yang berbasis di AS. PT FI memperoleh konsesi wilayah penambangan lebih 1.000 hektar dengan waktu konsesi 30 tahun serta bisa diperpanjang dua kali.
Di antara klausul pada KK Freeport adalah apabila terjadi perubahan perundangan tentang pertambangan, kontrak tetap berdasarkan UU No 11/1967 dan tak mengikuti perubahan (lex specialis). Perpanjangan pertama seharusnya baru diberikan 1997, tetapi dilakukan 1991, enam tahun sebelum berakhirnya kontrak sehingga KK Freeport berlaku sampai 2021.
Dua opsi
Penawaran awal Freeport 1,7 miliar dollar AS untuk 10,64 persen saham kalau dibandingkan jumlahnya hampir sama dengan anggaran Kementerian ESDM dan Kementerian Kelautan dan Perikanan digabungkan. Sungguh bukan jumlah yang kecil dan menurut banyak pihak terlalu mahal (overvalued). Menurut Pasal 97 Ayat 7 di PP 77/2014, pemerintah hanya memiliki waktu 60 hari untuk memutuskan apakah membeli atau tidak.
Namun, secara fundamental penawaran saham ini menghadapkan pemerintah pada opsi yang tadinya baru harus diputuskan pada 2019. Jika pemerintah tak membeli, tetapi kontrak Freeport diperpanjang, maka akan dipertanyakan masyarakat karena menyia-nyiakan peluang kepemilikan negara. Namun, jika membeli sekarang, tetapi tak diperpanjang, maka akan menjadi sia-sia karena tanpa keluar sepeser pun pada 2021 wilayah tambang Freeport akan kembali hak penggunaannya ke negara.
Keputusan pembelian saham dan perpanjangan perlu dilihat sebagai satu paket yang tak bisa dipisahkan. Pemerintah perlu segera mengumpulkan para pakar dan praktisi tambang dan menetapkan dalam dua bulan apakah keberadaan Freeport di Papua diperpanjang atau tidak.
Jika hasil kajian menunjukkan bahwa kinerja pertambangan Freeport positif dan pengalihan ke pihak lain akan menurunkan produktivitas secara signifikan, maka diumumkan bahwa hak pengelolaannya akan diperpanjang di 2019 dengan diikuti negosiasi serius untuk menurunkan harga saham divestasi secara rasional. Kalau opsi ini diambil, perlu ada penegasan bahwa Freeport harus mengikuti ketentuan UU Minerba, meningkatkan royalti dan perbaiki pengolahan limbah.
Opsi kedua adalah mengikuti pola di Blok Mahakam, di mana BUMN mengambil alih operasi dengan tetap bekerja sama dengan perusahaan internasional untuk menjaga produktivitas. Jika opsi ini diambil, pemerintah perlu tegas menyatakan dari sekarang bahwa kontrak Freeport tidak diperpanjang dan pemerintah tak akan menggunakan hak pembelian saham dari divestasi. Tim pengambil alih perlu disiapkan dari sekarang sehingga perencanaan matang dan prosesnya berjalan lancar.
Dalam dua bulan, kelanjutan Freeport di Papua akan ditetapkan. Semoga keputusan yang diambil memberikan manfaat nyata untuk rakyat Indonesia.
BERLY MARTAWARDAYA
Dosen Ekonomi Energi dan Mineral di FEB UI dan Ekonom Indef
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul "Simalakama Saham Freeport".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar