Mereka, ke-40 orang itu, dinyatakan bersalah membunuh 1.700 tentara pada tahun 2004 di Tikrit. Para terhukum dieksekusi mati dengan cara digantung. Hukuman gantung memang masih diberlakukan di negara itu. Hal tersebut mengingatkan pada hukuman gantung yang dijatuhkan terhadap Saddam Hussein.
Keputusan tersebut, mengeksekusi 40 warga, mendapat reaksi keras, antara lain, dari Amnesty International, yang menyebut pengadilan di Baghdad telah melalukan satu "pengadilan massal cacat secara fundamental".
Pengadilan di Baghdad juga dianggap melakukan sikap sembrono atas prinsip keadilan dan kehidupan manusia. Selain Amnesty International, kelompok-kelompok hak asasi manusia juga mengkritik eksekusi mati tersebut.
Kalau pengadilan di Baghdad tanpa ragu-ragu menjatuhkan vonis tersebut, tentu ada dasarnya. Apakah pengadilan salah dan benar-benar cacat secara fundamental seperti yang dinyatakan oleh Amnesty International? Tentu, hal tersebut bisa diperdebatkan.
Dalam ruang yang pendek ini, bukan masalah tersebut yang hendak kita bahas, melainkan lebih pada kondisi politik dan keamanan di Irak, yang kemungkinan menjadi landasan jatuhnya vonis tersebut.
Secara umum dapat dikatakan, setelah tumbangnya rezim Saddam Hussein, pada tahun 2003, kondisi politik dan keamanan di Irak tidak pernah tenang. Irak terjerumus ke dalam lembah konflik sektarian. Secara garis besar, Irak terbagi menjadi tiga kelompok besar: Sunni, Syiah, dan Kurdi. Mereka saling bertarung memperebutkan kekuasaan. Silih berganti mereka saling menyerang.
Selain itu, di Irak juga muncul kelompok-kelompok bersenjata yang memberikan andil terhadap memburuknya kondisi politik dan keamanan, serta akhirnya memburuknya kondisi ekonomi. Situasi bertambah buruk setelah muncul kelompok bersenjata yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Kelompok terakhir ini, NIIS, demikian ganas, mengobarkan perang di wilayah tengah dan utara Irak serta membunuh siapa pun yang dianggap tidak sejalan. Begitu banyak orang, termasuk tentara, tewas dibunuh dengan cara yang sangat tidak manusiawi.
Kondisi inilah yang mendorong lahirnya keputusan tegas pengadilan di Baghdad. Kalau pemerintah Baghdad tidak tegas, mereka akan terus digulung NIIS. Karena itu, eksekusi mati tersebut barangkali dimaksudkan untuk membuat gentar kaum radikal yang kalau dibiarkan akan meruntuhkan pemerintah Baghdad. Apakah tidak ada cara lain selain menghukum mati? Kondisi riil di Irak kiranya menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Tiada Pilihan Lain bagi Irak".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar