Perdana Menteri Ahmed Davutoglu mengatakan, pelaku peledakan bom di Ankara, Rabu (17/2), bernama Salih Necar, berkebangsaan Suriah. Terkait peledakan bom itu, Turki telah menahan 14 orang. "Serangan dilakukan anggota organisasi teroris, bekerja sama dengan anggota Unit Perlindungan Rakyat (YPG) Kurdi yang menyusup dari Suriah," katanya, (Kompas, 19/2).
Presiden Recep Tayyip Erdogan menambahkan, ledakan itu merupakan kerja sama antara YPG dan Partai Pekerja Kurdi. Dua organisasi ini, oleh Pemerintah Turki, dicap sebagai kelompok teroris.
Serangan bom terbaru itu berasal dari bom mobil yang diledakkan tak jauh dari markas angkatan bersenjata dan kantor Parlemen Turki. Menurut pemerintah, sedikitnya 28 orang tewas dan 61 orang terluka dalam serangan itu.
Sejak Desember lalu, terjadi lima ledakan bom di Turki, menewaskan lebih dari 45 orang. Namun, bom mobil di Ankara, Rabu lalu, merupakan yang terdahsyat.
Tuduhan itu dibantah keras oleh kedua pemimpin partai ini. Ketua PYD Salih Muslim menolak bertanggung jawab atas ledakan tersebut. "Bahkan, saya tidak pernah mendengar ada nama Salih Necar," katanya.
Kita tahu bahwa Presiden Erdogan terus berusaha memperkuat posisi politiknya di dalam negeri dengan rencana referendum. Salah satu cara menaikkan popularitas di dalam negeri, dia bersikap keras terhadap warga Kurdi. Ia berharap dapat limpahan suara dari kaum nasionalis Turki.
Selasa lalu, Presiden Erdogan kembali mengatakan bahwa Turki membutuhkan perubahan konstitusi. Ajakan itu disampaikan setelah kelompok oposisi di parlemen menolak membahas draf konstitusi baru. Oposisi menganggap konstitusi baru hanya akan membuat kekuasaan terpusat di presiden. Erdogan berencana menggelar referendum untuk mengubah konstitusi tersebut.
Ambisi Erdogan menumpuk kekuasaan bisa membuatnya terkucil. Hubungan Turki dan Amerika Serikat yang selama ini bersama kelompok Kurdi memerangi jihadis di Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) bisa merenggang. Apalagi, bukan rahasia lagi bahwa Turki juga "dekat" dengan kelompok jihadis di NIIS. Rusia dan Iran, yang belakangan memimpin penyerangan terhadap basis jihadis NIIS, juga menjadi sandungan Turki dalam pergaulan internasional.
Penjelasan rinci diperlukan agar Erdogan bisa menghindari tuduhan bahwa dia melakukan tuduhan semacam ini hanya demi ambisi politiknya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Kurdi dan Ambisi Erdogan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar