Keputusan DPR ini di luar ekspektasi pemerintah dan dinilai sejumlah kalangan bisa mengurangi kepercayaan masyarakat untuk ikut program tersebut (Kompas, 26/2). Sebelumnya, pemerintah berharap, dengan diterapkannya kebijakan amnesti pajak tahun ini, ada peluang menutup sebagian dari bolong realisasi penerimaan negara sekitar Rp 290 triliun akibat anjloknya penerimaan dari migas dan komoditas serta realisasi pajak yang jauh di bawah target.
Agar target pertumbuhan ekonomi tak terganggu, ada kemungkinan pemerintah akan dipaksa memperbesar defisit anggaran dari angka 2,15 persen dari PDB yang ditetapkan untuk APBN 2016. Konsekuensinya, pemerintah harus menambah utang untuk menutup defisit yang membesar, selain langkah lain pemotongan anggaran belanja dan opsi mengurangi subsidi BBM yang kini tengah dikaji.
Pemerintahan Joko Widodo dalam situasi pelik, terutama di tengah potensi dampak ekonomi global yang melesu, yang menuntut digenjotnya stimulus dalam negeri guna menggerakkan ekonomi domestik, khususnya lewat belanja modal pemerintah. Tambahan utang sudah pasti akan memunculkan tantangan terkait pembiayaan (financing)-nya mengingat beban utang pemerintah yang sudah sangat besar sekarang ini. Angka defisit yang lebih besar dari ekspektasi pasar juga bisa memicu investor menjauh dari Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah tak mungkin memangkas program prioritas seperti pembangunan infrastruktur. Bukan hanya karena efek multiplier yang besar terhadap ekonomi, melainkan juga karena pembangunan infrastruktur program prioritas Nawacita. Belum lagi tuntutan untuk menyediakan infrastruktur layak sebagai tuan rumah Asian Games 2018.
Efisiensi dan pemangkasan anggaran kementerian secara besar-besaran menjadi opsi yang tak terhindarkan. Tantangannya adalah bagaimana pemangkasan belanja anggaran itu jangan sampai mengganggu ekonomi mengingat belanja yang bersifat mengikat (belanja rutin, pembayaran bunga utang, subsidi) dan mandatory(anggaran pendidikan, kesehatan, dan dana desa) sulit untuk dikutak-katik.
Situasi turbulensi ekonomi global memang menuntut dilakukannya berbagai langkah terobosan. Namun, realitas politik—salah satunya yang mengaitkan pembahasan RUU Pengampunan Pajak dengan revisi UU KPK—membuat pemerintah sulit bergerak. Di sini pentingnya menyamakan persepsi antara pemerintah dan DPR.
Pemahaman soal tujuan dasar dari amnesti pajak y ang bukan sekadar instrumen menggenjot penerimaan dalam jangka pendek-menengah, tetapi juga kepentingan reformasi pajak yang lebih luas, perlu ditanamkan agar kepentingan politik tak menyandera kepentingan ekonomi yang lebih besar. Sebaliknya, pemerintah juga harus bisa menjamin, aspek keadilan yang menjadiconcern DPR diperhatikan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Penundaan RUU Amnesti Pajak".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar