Saya sedih membaca berita "Tarik Ulur Bunga Kredit" (Kompas, 22/1). Sudah sejak lama diberitakan bahwa keuntungan bank BUMN triliunan rupiah dan meningkat tiap tahun. Dalam artikel itu disebutkan, perbankan baru akan menurunkan suku bunga kredit setelah dimungkinkan penurunan bunga simpanan masyarakat.
Pendapat ini sungguh menyedihkan dan egoistis karena mau untung sendiri. Dewasa ini suku bunga kredit rata-rata di atas 13 persen dan biaya dana hanya 7 persen per tahun. Berarti laba bruto bank minimal 6 persen per tahun.
Di Singapura, Jepang, Eropa, dan Amerika, margin 6 persen itu luar biasa besar. Namun, di Indonesia, bank BUMN masih meminta subsidi bunga dari pemerintah atas penurunan bunga kredit usaha rakyat (KUR). Bukankah debitor KUR adalah rakyat sektor riil dan subsidi itu juga beban rakyat? Demikianlah siklus itu berputar-putar, tarik ulur yang tidak habis-habisnya. Seandainya bank BUMN mau, sudah lama suku bunga kredit dapat diturunkan hingga 9 persen setahun asalkan mereka bekerja efektif-efisien.
Terjadilah hubungan kausal: suku bunga kredit tinggi, margin debitor turun, keuntungan bank naik, dividen dan tantiem direksi dan komisaris naik. Selama ini suku bunga kredit yang tinggi membuat debitor seperti kerja bakti.
Sekadar ilustrasi, margin neto usaha ritel 12-18 persen, sedangkan suku bunga kredit 15 persen per tahun. Lihat saja, keuntungan BRI tahun 2015, naik dari kenaikan pendapatan bunga menjadi Rp 25,2 triliun (Kompas, 4/2). Meski demikian, dalam hubungan bisnis dengan perbankan, jauh lebih menguntungkan bank BUMN, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan. Mari kita lihat skala gaji mereka, sungguh sangat sejahtera.
HASIHOLAN SIAGIAN, JALAN AUP BARAT, JATI PADANG, JAKARTA SELATAN
Mobil Diderek
Pada Senin (15/2) sekitar pukul 13.00, mobil saya diderek petugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta di Jalan DPR Raya, dekat STEKPI Kalibata. Alasannya, mobil saya parkir liar.
Karena tak merasa bersalah, saya protes dan berusaha memindahkan kendaraan, tetapi tak diperbolehkan. Akhirnya, kendaraan diderek ke Kantor Dishub di Jalan MT Haryono. Saya didenda Rp 505.000. Terpaksa saya bayar karena butuh kendaraan itu.
Apa dasar legalitas penderekan ini? Saya memarkir kendaraan di ruas jalan yang tidak ada rambu larangan parkir. Mengapa tidak menderek saja angkutan umum Kopaja dan mikrolet yang ngetem,atau sepeda motor pelawan arus di perlintasan kereta api Kalibata ketimbang beroperasi di Jalan DPR Raya yang lebar dan relatif sepi.
Jika saya memang salah akibat salah parkir, dishub harus melengkapi jalan tersebut dengan rambu-rambu. Namun, jika saya tidak bersalah, tolong uang denda saya dikembalikan.
G PATRIA, PENGADEGAN, JAKARTA SELATAN
Tanggapan Cibinong City
Ibu Tirta Dewi menulis surat pembaca diKompas, Selasa (9/2), mengeluhkan layanan parkir sepeda motor di Cibinong City Mall. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang Ibu alami.
Tarif parkir sepeda motor di Cibinong City Mall Rp 2.000 per jam pertama dan Rp 2.000 setiap jam berikutnya, dengan tarif maksimum Rp 8.000.
Kami telah mengevaluasi pegawai pelayanan pos parkir yang bertugas saat itu dan akan diditindaklanjuti sesuai ketentuan. Terima kasih atas masukan Ibu.
ENDRO KISWANTO, REGIONAL OPERATION BUSINESS MANAGER CENTRE PARK CIBINONG CITY MALL
Tanggapan NAM Air
Kompas, Rabu (17/2), memuat surat pembaca ihwal layanan maskapai penerbangan NAM Air. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami pembaca tersebut.
Pada 7 Februari 2016, NAM Air terpaksa membatalkan rute penerbangan dari Batam-Jambi karena Bandara Hang Nadim, Batam, mengalami kerusakan navigasi sehingga bandara dinyatakan ditutup sementara.
Mengingat kejadian tersebut bersifatforce majeure, NAM Air memberikan pilihan untuk pembukuan ulang atau pengembalian uang (full refund). Akhirnya, pilihan kedua yang diambil Bapak Achiruddin, dan NAM Air pun telah mengembalikan uangnya.
AGUS SOEDJONO, SENIOR MANAGER CORPORATE COMMUNICATION PT NAM AIR
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar