Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 05 Maret 2016

Meragui (IWAN PRANOTO)

Melalui penelitian LIPI ke kampus- kampus, Anas Saidi dan kawan-kawan menemukan bahwa mahasiswa bidang IPA di pendidikan umum (nirkeagamaan) lebih rentan terindoktrinasi (CNN Indonesia, 18/2/2016). 

Senada dengan itu, sebelumnya M Zaid Wahyudi menyatakan bahwa anak- anak yang terbujuk radikalisme keliru ini umumnya dari sekolah atau perguruan tinggi favorit dan program eksakta (Kompas Siang, 13/4/2015).

Bagaimana menjelaskan fenomena menentang intuisi ini? Bukankah sejatinya pembelajaran IPA justru menyuburkan rasionalitas? Tak mungkinkah ada yang keliru dalam praktik pendidikan IPA di Tanah Air?

Keadaan seseorang yang mudah terbujuk dan memercayai sesuatu, walau sesungguhnya meragukan, diistilahkan sebagai credulous. Keadaan credulous ini memiliki penangkal alami, yakni kebiasaan berakal, antara lain perangai skeptis atau meragui.

Dalam beberapa model pendidikan, meragui sudah dicanangkan secara eksplisit dan terstruktur sebagai salah satu sasaran. Misalnya, pada dokumen Benchmark Online, yang disusun American Association for Advancement of Science, dirumuskan secara khusus perangai meragui ini sampai tahap operasional membelajarkannya. Sebagai ilustrasi, di kelas VIII, pelajar diharapkan sudah cekatan "meragui klaim penelitian yang didasarkan pada populasi sampel terlalu kecil" atau "meragui pernyataan yang didasarkan pada analogi semata".

Kebiasaan meragui juga semakin relevan di kehidupan sekarang karena hari ini manusia bukan kekurangan informasi, tetapi justru kebanjiran informasi. Menghadapi situasi ini, membuka pikiran pada suatu informasi perlu dibarengi dengan mensyaki informasi itu karena informasi belum tentu benar. Harus siap menerima suatu pendapat jika nanti benar, tetapi juga harus tetap meragui karena mungkin berdasarkan argumen yang lemah. Pasangan dua kutub ini merupakan komponen penting dalam keterampilan menanggapi-secara-kritis yang sejatinya bertumbuh subur melalui pembelajaran IPA, khususnya.

Matematikawan dan filsuf Rene Descartes menggagas pijakan kebersahajaan ilmiah berupa pengakuan bahwa setiap pendapat kita berpeluang salah. Rangkaian argumen yang mendasari pendapat kita mungkin ada yang tak sahih.

Karena itu, manusia perlu terus mencari keraguan masuk akal yang mendasari pada pendapatnya melalui tahap meragui, dan kemudian memperbaikinya. Descartes membahasakannya "untuk mencapai kepastian ... kibaskan tanah dan pasir sehingga berpijak pada batu".

Kebijaksanaan si subyek

Proses meragui tidak hanya akan memperkukuh pendapat, tetapi juga menumbuhkan kebijaksanaan si subyek. Ini sebuah pesan bahwa moral diekspresikan dari dalam pengalaman berilmupengetahuan sendiri, bukan diindoktrinasi dari luar ke dalam ilmu pengetahuan.

Kebersahajaan ini berwujud pengakuan atas adanya keterbatasan kepastian sebuah pendapat. Jika pengalaman meragui dibarengi kegiatan berpikir reflektif atau tafakur, subyek menyadari bahwa masih ada bagian dalam pengetahuannya yang patut diragui. Akan bertumbuh pemahaman bahwa pendapat dirinya belum sempurna, sedangkan pendapat orang lain mungkin dapat melengkapi pendapatnya.

Sebaliknya, jika tahap meragui ini absen dalam pengajaran IPA lalu ditambah lagi pengajarannya dogmatis, maka lengkaplah pelajaran IPA menjadi kumpulan mantra sakral yang tabu disangsikan. Kemudian karena hakikat IPA yang memang universal, pelajar mungkin akan tergiur menganalogikan kepastian mutlak berpikirnya, termasuk cara pandang hitam-putih, pada berbagai fenomena dalam kehidupan.

Dampaknya, tabiat menutup diri menguat karena keyakinan bahwa apa yang dipahaminya sudah benar mutlak serta semua pendapat berbeda darinya pasti salah. Ini yang akan memunculkan benih intoleransi dan takut pada perbedaan. Perlu diselidiki lebih jauh jika pendekatan pengajaran IPA dogmatis itu yang melahirkan fenomena seperti yang ditemukan penelitian LIPI di atas.

Strategi

Pembelajaran bernalar, termasuk kebiasaan berakal di atas, dalam sistem pendidikan di RI memang membutuhkan pembenahan mendasar dan segera. Berikut diajukan dua pendekatan membenahinya agar tepat sasaran, segera, dan hemat.

Sudah disadari bahwa menciptakan dokumen pendidikan semacam standar, kurikulum, dan buku ajar bermutu setara dengan yang telah dibuat lembaga di beberapa negara lain sulit dan membutuhkan waktu tak sebentar. Padahal, menunggu perbaikan dokumen pendidikan merupakan kemewahan yang tak dimiliki anak-anak kita hari ini.

Karena itu, pertama, pendekatan rekayasa mundur yang jamak digunakan di bidang industri manufaktur dapat dicoba diterapkan guna merekacipta program pendidikan. Setidaknya, untuk mata pelajaran yang universal, seperti Matematika, IPA, dan Pendidikan Jasmani, rancangan pembelajarannya dapat dikembangkan dari dokumen rujukan yang terbukti baik dan sudah banyak dibuat lembaga atau negara lain. Justru cerdas menerapkan strategi menggunakan apa yang sudah dikerjakan pihak lain kemudian memodifikasinya sehingga lebih baik sekaligus sesuai dengan keadaan Indonesia.

Kita perlu mengurangi kegemaran mengulang bekerja menemukan lagi sesuatu yang sesungguhnya sudah jamak. Terlebih, kerap "roda" yang diciptakan juga tak lebih baik ketimbang "roda" yang sudah ada.

Pada sisi lain, dokumen pendidikan, seperti kurikulum dan buku ajar yang jelas-jelas masih keliru, amat tak etis disajikan kepada anak kita sendiri. Seperti tak ada ibu atau ayah yang menyuapkan makanan rusak bagi anaknya, demikian pula tak sepatutnya negara menerapkan kurikulum atau buku ajar tak baik kepada warganya.

Kedua, melalui forum maya, pendidik dapat disebarkan inovasi dan praktik pembelajaran yang mengetengahkan cara mengelola kelas dalam menumbuhkan kebiasaan berakal dalam video klip 5-menitan. Ini akan lebih menyasar tepat pada inti permasalahan pendidikan, segera, terencana, sekaligus hemat.

Tiap pelajar akan merasakan langsung perbaikan pendidikan ketimbang pendekatan pelatihan guru lewat tatap muka yang mahal, rumit, bertele-tele, boros waktu, serta keterbatasan pelatih andal.

Membelajarkan kebiasaan berakal dan kecakapan bernalar, secara umum, bukan sesuatu yang mustahil, bahkan di tingkat SD. Dari yang paling sederhana, seperti guru mengajak mendiskusikan berbagai jalan berbeda untuk menyelesaikan suatu masalah dan mengkaji berbagai cara pandang berbeda terhadap suatu isu, dapat diterapkan agar pelajar membiasakan diri dengan keberagaman pendapat serta pemikiran.

Mengedepankan akal serta menyuburkan perangai ingin tahu, kejujuran, terbuka, dan meragui akan menjamin perkembangan ilmu pengetahuan sekaligus membela Republik Nalar.

IWAN PRANOTO, GURU BESAR ITB; ATASE PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA, NEW DELHI, INDIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Meragui".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger