Studi UGM tahun 2015 di sejumlah lokasi menunjukkan, dengan pembangunan kanal-kanal baru justru memicu bertambahnya titik api, terutama di areal yang dekat kanal. Namun, yang ironis, pembangunan kanal baru atau pelebarannya oleh pemerintah justru terus berlangsung di sejumlah wilayah. Sebutlah seperti kasus pembangunan kanal oleh Pemerintah Kota Palangkaraya yang telah menuai banyak kritik dan penolakan dari LSM dan petanikarena dianggap kurang tepat dalam membantu restorasi gambut (Kompas, 13/10).
Dampak kanal
Pemerintah beralasan bahwa pembangunan kanal baru untuk "normalisasi" sungai/saluran air agar tidak mengakibatkan banjir di lahan-lahan pertanian warga. Sepintas tujuan pembangunan ini sangat mulia dalam kerangka meningkatkan produktivitas hasil pertanian dan kesejahteraan petani. Padahal, faktanya kanal baru justru membuat lahan petani cepat kering dan mudah terbakar. Hal ini tidak terlepas dari rusaknya kubah gambut yang tercerabut ketika proses pengerukan berlangsung.
Padahal, kubah gambut merupakan unit ekosistem gambut yang berfungsi mengatur tata air pada musim kemarau dan musim hujan. Tanpa ada pembangunan kanal sekalipun, fungsi "normalisasi" dapat diperankan oleh kubah gambut secara alami.
Memang tak dimungkiri bahwa kondisi kanal-kanal di lahan gambut tak seluruhnya berfungsi dengan baik dalam mendukung pengairan pada lahan pertanian. Selain banyak ditumbuhi rumput dan pohon, juga adanya perubahan tutupan dan perluasan lahan oleh petani yang berakibat penyempitan dan pendangkalan pada kanal. Keadaan inilah yang mendasari pemerintah melakukan pelebaran dan pendalaman kanal. Pemerintah acap kali melihat keberadaan kanal dengan perspektifsemata-mata fisik.Sementara aspek ekologis dan sosial-ekonomi sering diabaikan.
Dengan kanal diperdalam hingga 4 meter, petani jadi kesulitan mencuci sayur karena harus turun ke bawah. Bahkan, tanaman sayuran akan kekurangan air ketika kemarau panjang. Termasuk juga mengganggu perkembangan tanaman perkebunan dan kehutanan, seperti karet, kelapa sawit, dan jelutung
Secara umum, kondisi hidrologilahan gambut pada dasarnya mencerminkan keseimbangan antara sumber pasokan air yang hanya dari air hujan dan pemanfaatan air untuk lahan. Sistem hidrologi (tata air) amat menentukan kelestarian lahan dan jasa lingkungannya bagi perkembangan ekonomi pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Sebagai contoh, pembukaan lahan gambut sejuta hektar tahun 1995 melalui pembuatan saluran primer induk (SPI) sepanjang 187 kilometer telah mengubah pola tata air, kualitas, dan dampak negatifnya terhadap kegiatan ekonomi berbasis lahan (Masterplan 2008; Kajian Cepat Hidrologi Gambut, LESTARI-USAID, 2016). Pembuatan kanal-kanal tersebut telah membongkar lapisan gambut yang bukan saja menyebabkan kebakaran, melainkan juga telah membuat senyawa pirit yang bersifat racun pada lahan.
Memang pembasahan kembali lahan gambut diperlukan sebagai upaya dini mencegah kebakaran dalam skala luas dengan mendayagunakan jejaring kanal yang ada melalui penyekatan kanal secara menyeluruh dan terpadu.Dan itu tanpa harus membangun kanal baru atau memperlebar/ memperdalamnya karena kelak dapat membawa dampak ekologis dan ekonomi masyarakat. Misal saja, dengan pembasahan di kawasan lindung, terutama punggungan dan kubah gambut, akan mendukung pemulihan alami dan penyediaan cadangan air sepanjang musim. Termasuk melindungi kawasan lindung dan budidaya pertanian dan perkebunan dari limpahan air permukaan pada curah hujan tinggi dan musim kemarau panjang.
Pembangunan kanal, sebagaimana terjadi di sektor lain, senantiasa menampakkan dua sisi yang paradoks. Pada satu sisi merupakan aset yang menjanjikan perubahan dalam kesejahteraan masyarakat. Sementara di sisi lain jadi liability yang justru dapat mematikan kehidupan sosial- ekonomi masyarakat. Karena itu, banyak kasus dari pembangunan sekat kanal yang akhirnya dibongkar karena bentuk, penempatan, dan fungsinya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Paradoks pembangunan
Menurut Susan Page dari University of Leicester, 2016, lahan gambut yang mengalami deforestasi dan pengeringan berada pada tingkat risiko kebakaran tertinggi karena permukaannya yang keringakibat lahan gambut terdrainase. Kondisi lahan seperti ini sangat mudah terbakar, baik karena faktor disengaja oleh aktivitas pembukaan lahan maupun karena iklim yang sangat panas. Bahkan, kondisi lahan yang terlalu lama kering berakibat mengubah sifat serap air (hydrophilik) jadi menolak air (hydrophobik).
Hal ini memberi isyarat bahwa pembangunan kanal sangat pentinguntuk tidak bersifat pragmatis, yaitu semata-mata proyek dengan mengalkulasi secara matematis, teknis, dan logis. Sebaliknya, pembangunan kanal mutlak mengedepankan dimensi kemanusiaan dan mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup sebagai jasa untuk pertumbuhan ekonomi pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Dengan demikian, jika warga dilarang membakar ketika membuka lahan, pembangunan kanal baru sepatutnya juga dilarang. Hal ini mengingat keduanya adalah penyebab kebakaran lahan dan hutan di rawa gambut. Paradigma gambut lestari tidak hanya melarang pemanfaatan api, tetapi juga melarang pembangunan kanal: stop api, stop kanalisasi!Jika tidak, restorasi gambut yang dicanangkan oleh pemerintah hanyalah retorika.
SUHARDI SURYADI
Direktur LP3ES 2005-2010; Saat Ini Bekerja sebagai Konsultan Knowledge Management pada Proyek LESTARI-USAID
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Antara Retorika dan Restorasi Gambut".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar