Layanan air permukaan melalui sistem perpipaan oleh Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta (PAM Jaya) dan operatornya baru mampu memasok sebanyak 331 juta meter kubik atau sekitar 35 persen kebutuhan. Sisanya sebanyak 65 persen dapat dipastikan diambil dari air tanah karena sungai dan sumber air lainnya di Jakarta tidak dapat dimanfaatkan secara langsung untuk menyuplai kebutuhan air bersih warga.
Meningkatnya jumlah penduduk serta aktivitas ekonomi dan industri membuat kebutuhan air meningkat dan belum mampunya perusahaan daerah air minum (PDAM) melayani seluruh penduduk dan industri membuat pemanfaatan air tanah menjadi luar biasa besar. Pengambilan air tanah yang berlebihan dan tidak seimbang dengan imbuhannya membuat muka air tanah menurun dan berdampak pada penurunan tanah atau amblesan tanah.
Perhatian kurang
Di Jakarta, fenomena amblesan tanah mulai dicatat terjadi sejak awal 1990-an. Berdasarkan berbagai studi yang dilakukan, penurunan tanah Jakarta terjadi bervariasi secara spasial dan waktu berkisar 3-10 sentimeter per tahun.
Meskipun menjadi gantungan dari sebagian besar warga Jakarta, sayangnya perhatian terhadap air tanah masih sangat kurang. Jarang sekali air tanah menjadi isu sentral yang dibicarakan dalam kebijakan-kebijakan publik, baik tingkat nasional terkait dengan posisi Jakarta sebagai ibu kota maupun lokal. Hal ini karena air tanah secara fisik tidak terlihat sehingga kerap lolos dari perhatian, kurang dihargai, dan kurang diatur dalam peraturan perundangan.
Dampak penurunan tanah sebetulnya sudah dapat dilihat dari meningkatnya risiko banjir, seperti meluasnya luasan banjir, meningkatnya frekuensi dan luasan rob, serta banyaknya bangunan yang retak dan rusak termasuk infrastruktur publik seperti jalan dan jembatan.
Selain itu, juga amblesnya rumah dan bangunan milik warga, retak atau rusaknya pipa air di tanah, tidak berfungsinya drainase secara optimal, perubahan aliran sungai, intrusi air laut, makin tingginya biaya perawatan bangunan dan infrastruktur, merosotnya nilai bangunan, sampai menurunnya kualitas hidup warga dan terganggunya aktivitas serta produktivitas penduduk Jakarta.
Di Shanghai, Tiongkok, total kerugian akibat penurunan tanah dalam 40 tahun terakhir adalah 35 miliar dollar AS. Di Belanda, pada 2006 kerugian mencapai 3,5 miliar euro, sementara di Tiongkok per tahun rata-rata kerugian adalah 1,5 miliar dollar AS.
Penyebab penurunan tanah yang terjadi di Jakarta adalah pemanfaatan air tanah secara berlebihan, pembebanan bangunan, kompaksi tanah dan fenomena tektonik. Sampai saat ini belum ada penelitian solid dan komprehensif yang menghubungkan penurunan tanah di setiap lokasi di Jakarta dengan penyebabnya. Akan tetapi, ada cukup banyak artikel ilmiah yang menghubungkan penurunan tanah Jakarta dengan over eksploitasi air tanah. Hal ini sama seperti yang terjadi di Tokyo, Bangkok, Shanghai, Dhaka, Ho Chi Min, Taipe, Rafsanjan, California, dan lain-lain.
Di Tokyo, hubungan pengambilan air tanah berlebihan dengan amblesan air tanah sangat nyata terlihat. Setelah penurunan tanah terus terjadi pada awal 1960, pemerintah membatasi secara ketat pemakaian air tanah, pada akhir 1960-an muka air tanah mulai naik dan awal 1970-an penurunan air tanah mulai berhenti. Pada awal 1970-an, Jepang juga banyak membuat proyek substitusi pengganti air tanah yang ditujukan bagi industri, domestik, dan pertanian. Di Bangkok, pemakaian air tanah diperketat sejak tahun 1985 dan terus berlangsung sampai sekarang, dampak positifnya belakangan Bangkok berhasil mengurangi pemakaian air tanah sampai hanya tinggal 10 persen.
Pengelolaan dan data air tanah
Belajar dari kota-kota lain yang berhasil mengelola air tanahnya, maka Jakarta perlu segera membatasi secara ketat pemakaian air tanah, mengembangkan layanan air perpipaan atau pengembangan perusahaan daerah air minum, mengelola data air tanah, danrecharge untuk wilayah-wilayah yang sudah kritis.
Sebagai dasar pengelolaan dibutuhkan data yang komprehensif, meliputi jumlah sumur, di mana lokasinya, kedalaman, volume pemakaian, dan kapan dibuat. Begitu juga dengan kondisi air tanah dari waktu ke waktu, berapa banyak air diambil dari sistem serta kualitasnya. Membangun basis data air tanah sangat penting, apalagi penelitian Delinom et al(2015) menunjukkan bahwa dasar cekungan air tanah Jakarta ternyata bukan merupakan garis yang melandai dari selatan ke utara, melainkan menunjukkan adanya struktur tinggian dan rendahan serta lebih tipis yang berimplikasi pada jumlah cadangan air tanah Jakarta jumlahnya mungkin lebih sedikit dari yang selama ini diperkirakan.
Memang untuk mengetahui berapa banyak air tanah dipakai setiap bulan atau setiap tahun bukan pekerjaan mudah. Untuk mengetahui lokasi sumur air tanah cukup sulit, apalagi jika berada di kompleks bangunan besar. Dari luar tidak bisa dilihat dan mudah sekali bagi pemilik gedung untuk menyembunyikan sumurnya. Akan tetapi, sesulit apa pun data adalah fondasi penting pengelolaan, seperti sering disampaikan guru manajemen Peter Drucker, what get measured, get managed. Bahkan Napolean Bonaparte yang tidak hidup di abad informasi pun mengatakan war is ninety percent information.
NILA ARDHIANIE
Pemerhati Sumber Daya Air
Tidak ada komentar:
Posting Komentar