Binnenlandsche bestuur adalah pemerintahan yang diselenggarakan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang disebut korps pamong praja. Indirect rule adalah pemerintahan tidak langsung kepada daerah swapraja, zelfbesturende landschappen dan komunitas pribumi, inlandsche gemeente (RR 1854; Surianingrat, 1981). Binnenlandsche bestuur menggunakan instrumen dekonsentrasi, sedangkan indirect rule menggunakan instrumen kontrak politik (untuk swapraja) dan kontrol politik (untuk komunitas pribumi).
Pemerintah Hindia Belanda pada 1903 memperkenalkan kebijakan desentralisasi yang ditempelkan padabinnenlandsche bestuur dan indirect rule. Sejak saat ini dibentuk pemerintahan paralel pada provinsi dan kabupaten/kota: pemerintahan pamong praja sekaligus pemerintahan daerah. Pemerintahan pamong praja diselenggarakan korps pamong praja, sedangkan pemerintahan daerah diselenggarakan dewan daerah (provintie raad dan regentie raad/stadsgemeente raad). Karena pemerintahan daerah hanya tempelan, maka yang dominan adalah pemerintahan korps pamong praja.
Ketika Indonesia merdeka, Moh Yamin dan Soepomo menyusun Pasal 18 UUD 1945 tentang daerah otonom besar dan daerah otonom kecil. Berdasarkan pasal ini diundangkan Undang-Undang (UU) No 22 Tahun 1948, UU No 18/1965, UU No 19/ 1965, dan PP No 22/1963. Tiga UU dan peraturan pemerintah (PP) ini hanya mengatur pemerintahan berasas otonomi yang terdiri atas tiga lapis, tier: provinsi, kota besar, dan kota kecil/desa praja.
Binnenlandsche bestuur dihapus. Pemerintahan indirect rule juga dihapus: swapraja yang masih eksis dijadikan daerah istimewa dan yang sudah tak eksis dihapus, inlandsche gemeente dikonversi menjadi daerah otonom formal sebagai kota kecil/desa praja (Maryanov, 1955).
Akan tetapi, binnenlandsche bestuur daninlandsche gemeente yang sudah dihapus dihidupkan kembali dalam bentuk baru (UU No 5/1974 dan UU No 5/1979). Pejabat pamong praja, yang pada zaman kolonial hanya terdiri dari gubernur, residen, bupati, wedana, dan camat, kali ini ditambah wali kota administratif dan lurah.
Pemerintahan inlandsche gemeente yang pada zaman kolonial Belanda diserahkan kepada adat istiadat masing-masing kali ini dijadikan korporasi politik baru yang diatur negara secara kaku (rigid). Terbentuklah pemerintahan sentralistik model baru yang lebih sentralistik daripada zaman kolonial. Pemerintahan berasas otonomi tidak berkembang karena hanya ditempelkan pada pemerintahan berasas dekonsentrasi.
Pada awal reformasi, pemerintahanbinnenlandsche bestuur dihapus kembali dengan tetap mempertahankaninlandsche gemeente model baru. Sesuai dengan UU No 22/1999 di daerah hanya dibentuk dua lapis pemerintahan berasas otonomi: (1) provinsi dan (2) kabupaten/kota ditambah "pemerintahan" inlandsche gemeentemodel baru di bawah kabupaten.
Gubernur dan bupati/wali kotamadya tak lagi merangkap sebagai pejabat pamong praja, tetapi hanya sebagai kepala daerah otonom. Semua pejabat korps pamong praja dihapus. Akan tetapi, model pemerintahan berasas otonomi baru ini hanya bertahan empat tahun karena UU No 22/1999 diganti dengan UU No 32/2004.
UU No 32/2004 secara terselubung menempelkan binnenlandsche bestuurpada provinsi. Dengan demikian, di provinsi dibentuk pemerintahan paralel lagi: daerah otonom sekaligus sebagai wilayah administrasi. Adapun kabupaten/kota tetap dipertahankan sebagai pemerintahan berasas otonomi. UU No 32/ 2004 diganti dengan UU No 23/2014 dan UU No 6/2014. Di bawah dua UU ini terbentuk lagi pemerintahanbinnenlandsche bestuur dan indirect rule(khusus inlandsche gemeente) jilid III yang konstruksinya sama dengan modelbinnenlandsche bestuur dan indirect rulezaman kolonial Belanda.
Kuncinya taat asas
Bongkar pasang konstruk local government inilah yang membuat repot. Jika pembuat UU taat asas kepada Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 tidak ada kerepotan menyelenggarakan otonomi daerah sebagaimana negara lain menyelenggarakannya. Sesuai dengan UUD 1945, pemerintahan daerah berasas otonomi dan tugas pembantuan. Asas ini merujuk kepada pemerintahan lokal model Inggris (Hume IV, 1991). Berdasarkan asas ini, pemerintahan yang dibentuk adalah pemerintahan berasas otonomi bukan binnenlandsche bestuurdan indirect rule atau campuran di antara ketiganya.
UU No 22/1948, UU No 18/ 1965 jo UU No 19/1965, dan UU No 22/1999 sudah sesuai dengan asas ini. Kekurangan semua UU tersebut adalah kerancuan model pengawasannya kepada daerah otonom: antara hierarki dan fungsional. Seharusnya pemerintahan daerah yang berasas otonomi menggunakan model pengawasan fungsional (Leehmans, 1970).
Pengawasan fungsional dilakukan oleh pejabat instansi vertikal kepada dinas-dinas penyelenggara otonomi daerah, bukan oleh wakil pemerintah. Cara penyerahan urusan pemerintahannya dengan ultravires, bukan concurrent. Mestinya kekurangan inilah yang diperbaiki, bukan membongkar konstruksinya.
Implementasi UU No 23/2014 dan UU No 6/2014 berpotensi sangat merepotkan karena konstruksinya tidak mengikuti salah satu dari empat model local government yang dikiblati dunia: (1) Perancis, (2) Jerman, (3) Inggris, dan (4) Soviet Komunis (Hume IV, 1991). Dua UU ini mencampur model modern dan tradisional: binnenlandsche bestuur, indirect rule, dan Perancis. Bertemunyabinnenlandsche bestuur dengan model Perancis melahirkan sentralisasi yang kuat, sedangkan model indirect rule pada komunitas desa membuat absennya pelayanan publik kepada rakyat desa yang ujungnya menciptakanovercomplicated.
HANIF NURCHOLIS
Profesor Bidang Pemerintahan Daerah Universitas Terbuka dan Ketua Umum Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Kembalinya Desentralisasi Era Kolonial".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar