Manajemen konstruksi yang buruk menyebabkan banyak kecelakaan. Juga kerugian hingga kebangkrutan pedagang di sekitar jalan. Sistem buka-tutup yang dikelola para "Pak Ogah" menciptakan macet yang kian luar dari biasa.
Saya tak tahu apakah wali kota atau pejabat setempat menyadari keprihatinan masyarakat tersebut, mengingat mereka sendiri tentu ikut mengalaminya. Termasuk aparat kepolisian yang kantornya persis bersisian dengan pusat termacet kota, seolah mengatakan: "persoalan itu di luar jam kerja saya".
Tangerang Selatan (Tangsel), kota muda yang baru berusia sekitar satu dasawarsa, sebenarnya digolongkan cukup kaya dibanding rata-rata daerah otonom di Indonesia. Dengan anggaran belanja mencapai Rp 3,3 triliun (2016), APBD Tangsel sudah melampaui APBD 80 persen kabupaten/kota seluruh Indonesia, bahkan lebih tinggi daripada 10 provinsi, seperti Bengkulu, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, NTT, NTB, Maluku, atau Gorontalo.
Apabila Anda ke Purwakarta hari ini, sebagai perbandingan misalnya, Anda dapat menikmati jalan-jalan mulus, lebar, dan indah karena tanaman dan hiasan. Bahkan sudah dibangun jalan lingkar luar yang senyaman jalan sejenis di Jakarta, tapi sepi karena belum cukup banyak kendaraan dimiliki warga setempat. Semua itu dicapai dengan APBD kabupaten berusia 50 tahunan itu, yang bernilai sekitar Rp 600 miliar. Nilai yang tak sampai seperlima APBD Tangsel, kota di mana kebutuhan infrastrukturnya mendapat dukungan swasta lewat pembangunan perumahan dan pertokoan supermodern, seperti di Serpong dan Bintaro.
Dibandingkan juga banyak kota lainnya, seperti Bogor, Yogyakarta, atau Semarang, yang menggunakan bangunan lama untuk kantor wali kotanya, kita bisa lihat bagaimana Tangsel membangun kantor wali kotanya semegah perkantoran nasional/internasional di jalan-jalan utama Ibu Kota. Gedung kantor semacam itu tentu saja butuh biaya tinggi, bukan hanya untuk mendirikannya, melainkan juga fasilitas isinya, pendingin ruangan, sofa, teknologi alat kantornya, pemeliharaan, gaya hidup para pegawai, hingga bahan bakar deretan mobil yang memenuhi ruang parkirnya.
Untuk apa dan bagaimana sebenarnya uang (pajak) rakyat digunakan oleh mereka yang kita pilih dan percaya untuk mengelolanya? Data resmi Badan Pusat Statistik, juga pernyataan beberapa pejabat berwenang, menyatakan, belanja pegawai di semua pemerintahan daerah berkisar 50-60 persen, dengan belanja modal hanya sekitar 15 persen. Tak kurang dari 124 pemerintahan daerah, belanja pegawainya di atas 60 persen dan 16 di antaranya di atas 70 persen. Bahkan, Mendagri baru-baru ini menyatakan ada kabupaten yang belanja pegawainya 82 persen. Sang menteri tak mau menyebutkan nama, tetapi dalam data penulis, angka tersebut hampir persis sama dengan APBD Kabupaten Lumajang yang memecahkan "rekor" pada 2011, dengan belanja pegawainya 83 persen dan belanja modal hanya 1 persen dari APBD setempat.
Kriminalitas sistem
Data keras itu memberi alasan ampuh untuk saya (kita) mengeluh. Ini refleksi yang secara imperatif sebaiknya kita endapkan, sesali, dan perbaiki. Betapa elite politik, khususnya pejabat publik, seperti menggunakan dana publik yang diamanahkan pada mereka dengan satu bentuk kerakusan, merampas secara legal—untuk tidak mengatakan merampok—demi memenuhi syahwat duniawi mereka. Bagaimana tidak, jika anggota parlemen dan daerah saja, yang berjumlah total sekitar 15.300 orang, berbasis gaji di wilayah masing-masing, rakyat harus mengeluarkan dana hampir Rp 4,5 triliun/tahun.
Besaran dana itu sama dengan anggaran APBN untuk Kementerian Perindustrian, tapi lebih tinggi daripada perdagangan (Rp 3,5 triliun) dan belasan kementerian lain juga puluhan lembaga negara lain yang diatur UU. Memang nyaman jadi pejabat dan lumrah jika banyak pihak seperti kesetanan memperebutkannya. Tapi apakah kemudian hasil kerja mereka, elite daerah itu, berbanding lurus dengan apa yang telah mereka nikmati?
Sebagai ilustrasi kecil, Kota Batu yang hanya berpenduduk 200.000 orang memiliki parlemen sendiri, 25 orang, dengan gaji rata-rata per orang Rp 15 juta/bulan, yang jika ditotal setahun sekitar Rp 4,5 miliar. Angka tersebut harus dipenuhi/dibayar oleh penduduk setempat yang pendapatan per kapitanya hanya Rp 300.000 per bulan, dari pendapatan asli daerah (PAD) yang hanya Rp 752 miliar (2015). Tidak sehat, tentu saja. Maksud saya, ini sama sekali tidak masuk akal sehat juga jiwa dan batin yang sehat.
Hitungan matematis semacam ini memang tak cuma membutuhkan akal sehat. Lantaran cukup banyak orang (tokoh) akalnya sehat (sebagai sarjana hingga kaum profesor), tetapi ternyata mental juga hati/batinnya sakit kronis. Maka, inilah jenis perampokan harta dan pendapatan rakyat yang terlegalisasi secara sistemis, berbasis akal sehat bahkan kecerdasan di atas umum. Bukan lagi white collar atau organized crime, melainkan sudah menjurus menjadisystemic crime,
Terlebih jika kita melihat bagaimana kita memberi gaji atau penghasilan pada para pemimpin puncak di daerah, selain fasilitas-fasilitas yang mereka dapatkan tidak dalam bentuk uang tunai. Dari data yang dilansir Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), ternyata gaji seorang gubernur di Indonesia, jika tidak bisa dibilang incredible (Inggris) atau incroyable (Perancis), benar-benarwow alias tega banget! Seorang gubernur Jawa Timur, misalnya, memperoleh pendapatan (tertinggi di daerah) tidak kurang dari Rp 710 juta/bulan atau Rp 8,5 miliar/tahun, total gaji pokok plus tunjangan-tunjangan, insentif dari pajak/regulasi, dll. Dan ternyata angka itu masih terlalu kecil dibandingkan gubernur DKI Jakarta yang menerima 1,75 miliar/bulan atau Rp 21,1 miliar/tahun. Hampir 300 persen lebih.
Apa yang mengejutkan, jika nilai pendapatan di atas dibandingkan dengan data resmi pemerintahan dunia, apa yang diperoleh gubernur DKI, Jabar, Jateng, dan Jatim ternyata jauh lebih banyak ketimbang presiden Amerika Serikat, Perancis, Jerman, dan Inggris, apalagi presiden kita sendiri yang pendapatannya hanya sekitar Rp 0,74 miliar. Begitupun jika dibandingkan dengan eksekutif puncak korporasi/BUMN besar Indonesia, gaji para gubernur hebat di atas melampaui jumlah yang diterima dirut Bank Mandiri, Telkom, BRI, bahkan gubernur Bank Indonesia yang berkisar antara Rp 2 miliar (BI) dan Rp 8,4 miliar (Mandiri).
Apa yang kemudian dapat kita bayangkan jika kemudian ada tuntutan keras dari parlemen, dibantu "konstituen" yang tak lain adalah elite politik daerah, pada pemerintah untuk segera menghentikan moratorium pemekaran dan menyetujui berdirinya 124 daerah otonom baru? Apa yang Anda bayangkan jika presiden dirayu sedemikian rupa hingga menyetujui menaikkan gaji semua anggota parlemen di daerah? Apa yang meninju imajinasi dan hati Anda saat parpol merasa memiliki hak agar bantuan pemerintah (negara) dilipatkan 5.000 persen dari semula?
Mutan kultur global
Semua fakta keras di atas, juga ribuan fakta lain yang menyelimuti hidup kita masa (zaman) kini, menjadi bukti yang juga keras dan absah betapa kita, elite yang juga kemudian dipanuti oleh orang kebanyakan, telah menjadi gergasi yang bukan hanya tidak mengenali kodrat kemanusiaannya yang ilahiah, tapi juga telah menjadi mutan kultur global dengan kerakusan animalistik dalam laku dan perbuatan hidupnya.
Mutan kultur global, yang didiseminasi dan diinternalisasi intensif selama setidaknya satu abad belakang ini, tak cuma tidak menyadari, tapi juga tak peduli dengan bahasa dan kesadaran jiwa/mental apalagi spiritualnya. Kultur global itu membuat mutan-mutan indonesianis itu sangat percaya pada akal/intelektual, akibat pembelajaran luar biasa bahkan sejak PAUD hingga S-3 atau profesor, tanpa memiliki kemampuan/kapabilitas menciptakan "jembatan keledai" dengan realitas/kesadaran jiwa dan batinnya.
Kita hidup secara formal dengan topeng akal yang cantik dan ganteng, lalu kita gunakan itu sebagai norma dan moral untuk menyubstitusi hal sama yang ada dalam tradisi dan agama. Dengan basis adab itu kita membiarkan nafsu, libido, syahwat, hingga angkara merajalela tanpa penjaga moral dan etik yang telah diciptakan dan diwariskan nenek moyang sejak ribuan tahun lalu. Tak ada warisan-warisan itu. Tak ada kemuliaan dari warisan itu. Bahkan Pancasila sekalipun.
Pengetahuan yang kita rasa miliki melalui sistem/proses pendidikan kontinental selama seabad terakhir, mungkin berbeda dengan apa yang orang Jawa bilang weruh (kaweruh) bahari yang sifatnya multidimensi. Kaweruh yang tidak hanya berisi kesadaran akal, juga kesadaran fisikal, mental, dan spiritual. Pendidikan ala adab kontinental yang bersifat struktural (di mana guru/dosen begitu dominan, monolitik dan diktatis) hanya mampu mengisi chip dengan memori beberapa terabyte di 1.300 cc tempurung pojok kiri kepala kita. Mungkin bagi mereka yang percaya "Aku berpikir maka jadilah Aku" (cogito ergo sum), adab itu bisa berlangsung hingga hari ini, seperti di kebanyakan negara/bangsa kontinental. Namun, ternyata belakangan mereka mulai menyadari bagaimana cara atau modus eksistensial semacam itu jika tidak pincang, hasil akhirnya tidak lengkap, bahkan menyembunyikan bahaya peradaban yang serius.
Dalam diri manusia Indonesia hal serius itu tidak sembunyi, tapi nyata terjadi. Bahkan sudah jadi bencana ketika akal kontinental itu bertarung secara permanen dengan dunia/kesadaran lainnya. Akal yang megalomaniak menciptakan mutan gergasi di atas dengan tubuh dan jiwa amoral dan biadab memperebutkan bahkan merampok kuasa (apa saja: politik, ekonomi, ilmu, agama, seni) demi mempertahankan kedigdayaan manusia, tepatnya dia dan golongannya sendiri. Jadi, tak peduli Anda post-doktoral atau mungkin dua kali profesor, Anda tetap jadi budak dari asas-asas dasar sistem-sistem di atas, macam: kompetisi, zero sum game, the winner takes all, laissez faire, voting, dan banyak asas lainnya, asas yang kita anggap memberi kita banyak kemudahan, sekaligus kejahatan destruktif.
Bagaimana tidak destruktif jika seorang pemimpin hanya dipilih hanya oleh kurang dari 20 persen penduduk karena demokrasi? Atau perjanjian damai yang didambakan dunia, juga rakyat Columbia, batal karena referendum dimenangi dengan angka tipis oleh pemilih yang totalnya hanya 33 persen dari jumlah penduduk? Siapakah pemenang tipis itu? Tidak lain pemilih urban, penduduk kota-kota besar, elite negeri itu, yang puluhan tahun ada dalam zona nyaman dan tidak menghayati penderitaan saudaranya di desa-desa dan wilayah pinggiran.
Hingga, bilakah elite semacam ini bertahan, merampok bangsanya sendiri, dan secara sistemik mengondisikan publik untuk—sadar dan tak sadar—mendukung atau mempertahankan kegergasian mutanik mereka? Pertanyaan itu tidak tepat juga tidak adil diajukan pada rakyat pada umumnya. Mereka tidak mafhum. Sejarah selalu mengajarkan, segelintir oranglah yang akhirnya mampu menggerakkan dan mengubah sejarah itu sendiri.
Artinya, akhir kata, elite juga pegang tali kekang. Dengan realitas kaum elite negeri ini sekarang, masih bisakah kita memelihara harapan perubahan? Atau mungkin rakyat yang memulai perubahan itu? Maaf, saya belum dengar ada presedennya. Imam Mahdi, Satria Piningit, atau semacam The Avengers? Tentu saja kita enggan jadi bagian dari masyarakat yang ilusif, fiksional, dan virtual buatan Marvel, Hollywood, atau Bollywood itu.
Pesimistis? Kalau ya, berarti Anda gagal menangkap optimisme luar biasa yang tersimpan di barisan huruf di atas.
RADHAR PANCA DAHANA
Budayawan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Merampok Bangsa Sendiri".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar