Presiden Joko Widodo menengarai ada aktor politik di balik aksi demo 4 November silam. Konon pernyataan itu berdasarkan keterangan intelijen yang mendapat informasi bahwa ada tokoh-tokoh politik mendompleng aksi tersebut.
Tentu bukanlah suatu kebetulan jika dalam momen-momen seperti itu ada pihak-pihak yang mengail di air keruh demi kepentingan sendiri. Apalagi, momennya pas jelang Pilkada DKI Jakarta.
Menurut saya, kondisi sekarang tidak akan sedemikian parah manakala para pihak mau menahan diri untuk kepentingan bangsa yang lebih besar. Siapa pun yang ikut berlaga dalam pilkada, saudara, kawan, lawan, atau bahkan anak kita, sebaiknya berani menahan diri untuk tidak mencampuradukkan beragam kepentingan. Patut dicatat, dalam situasi semacam ini korbannya adalah rakyat yang tidak tahu-menahu persoalan politik.
Selain itu, yang tampak sekarang adalah sikap tidak tegas yang diperagakan negara melalui aparaturnya. Jelas-jelas menista, menghina, dan menghujat orang lain, baik melalui media sosial maupun terang-terangan, tetapi tidak ada tindakan. Media sosial bukan lagi media persahabatan untuk memperkuat tali silaturahim, melainkan juga menjadi alat politik untuk melakukan kampanye hitam.
Saat ini orang mudah sekali membuat akun palsu, surat elektronik palsu, yang kemudian dipakai untuk menjatuhkan orang lain tanpa harus bertanggung jawab. Oleh karena itu, Presiden Jokowi tidak hanya perlu terus melanjutkan silaturahim dengan tokoh-tokoh politik, agama, dan masyarakat, tetapi juga memerintahkan aparat berwenang untuk menindak tegas mereka yang terang-terangan melanggar hukum, apalagi yang menghasut dan memprovokasi orang lain untuk melakukan kekerasan.
Tindak mereka yang diduga menjadi provokator tanpa memedulikan apa latar belakang ataupun afiliasi politiknya. Tindak juga mereka yang diduga telah menghina simbol-simbol negara.
P MUJIRAN
Jalan Borobudur Utara, Manyaran, Semarang
Tanggapan Ditjen Pajak
Menanggapi surat di Kompas (1/11) berjudul "Pajak Penghasilan Pensiunan" yang disampaikan Saudara Sugih Janto Widjaja, kami sampaikan bahwa pemerintah tidak bermaksud memberatkan para pensiunan penerima uang pesangon ataupun uang pensiun bulanan.
Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas uang pesangon yang diterima pensiunan dimaksudkan agar ada perlakuan yang sama (equal treatment) terhadap semua wajib pajak, orang pribadi penerima penghasilan, yang telah melebihi batasan tertentu.
Pensiunan penerima uang pensiun bulanan (tidak menerima uang pesangon) tetap dikenai PPh Pasal 21 atas bagian uang pensiun yang menjadi obyek pajak. Pemerintah terus menyempurnakan regulasi bidang perpajakan menuju prinsip-prinsip perpajakan yang adil, mudah, dan efisien dengan mengoptimalkan penerimaan negara.
Sebelumnya, penerima uang tebusan pensiun yang dibayarkan sekaligus dikenai PPh Pasal 21 dengan tarif progresif 5 persen-25 persen untuk jumlah uang tebusan di atas Rp 25 juta. Sejak terbit PP Nomor 68 Tahun 2009 yang berlaku hingga sekarang, penerima uang pensiun yang dibayarkan sekaligus dikenai pajak hanya atas uang tebusan di atas Rp 50 juta dan selebihnya dikenai tarif tetap (flat) 5 persen.
Dengan penerapan tarif pajak yang lebih rendah, manfaat yang didapat wajib pajak menjadi lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, serta kepastian hukum.
HESTU YOGA SAKSAMA
DIREKTUR DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT DITJEN PAJAK
Jalan Alam Sutera
Sejak ada pengalihan arus lalu lintas di Jalan Alam Sutera, saat ini hampir setiap hari, bahkan di luar jam sibuk, kendaraan harus membuang waktu lama melintasi Jalan Bhayangkara, baik menuju maupun dari arah Alam Sutera.
Penyebab kemacetan itu, selain banjir di depan masjid, adalah banyaknya sepeda motor dan mobil yang berputar masuk ke restoran cepat saji di depan Giant Alam Sutera.
Saya prihatin karena tak tampak upaya untuk mengatasi. Mohon perhatian pihak terkait.
AMELIA
Duta Bintaro, Kunciran, Tangerang
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 November 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar