Parpol juga hadir dalam gegap gempita kampanye politik periodik, pada momen-momen itu. Selebihnya seperti lenyap ditelan bumi. Atau, muncul ketika ada anggotanya yang terjerat kasus korupsi. Di parlemen, parpol muncul ketika anggotanya melanggar etika atau terlibat keributan saat membahas suatu rancangan undang-undang.
Di mana parpol ketika rakyat bawah menuntut keadilan dengan melakukan aksi jahit mulut, menyemen kaki, berdemonstrasi, atau tengah terlibat sengketa dengan pihak korporasi? Rakyat seperti ditinggalkan begitu saja, telantar tak terurus, dibiarkan hidup dengan masalahnya, dan menyelesaikannya sendiri.
Parpol menjadi elitis, mengurus persoalan-persoalan elite di tingkat atas karena di situ parpol bisa hidup. Bagaimana rakyat? Rakyat cukup ditemui nanti menjelang pemilu, toh, ingatan publik pendek. Rakyat cepat lupa dan itu dimanfaatkan betul oleh parpol untuk tak terlalu menguras tenaga.
Kualitas moral-intelektual
Hal ini tidak menafikan ada parpol yang memang betul-betul turun ke bawah. Parpol ini benar- benar hadir setiap hari di tengah- tengah rakyat, mendengarkan keluh kesah dan persoalan mereka yang kian hari bertambah berat. Parpol ini peduli dengan nasib rakyat serta ikut menyambungkan suara mereka ke parlemen dan pemerintah. Karena itu, tidak heran jika akar rumput parpol ini pun cukup kuat.
Umumnya, kader parpol ini memang dulunya terbiasa menemui rakyat dan hadir di tengah- tengah mereka. Ketika kader parpol ini berhasil duduk di parlemen, ia tidak lupa diri. Ia selalu ingat pesan konstituennya untuk terus peduli dengan mereka.
Berbeda dengan kader yang masuk parpol tidak pernah berkotor-kotor dengan rakyat sebelumnya. Ia masuk parpol bukan melalui suatu seleksi ketat atau prosedur standar. Ia masuk karena punya pundi-pundi finansial yang besar (pengusaha) dan popularitas (misalnya berlatar artis). Tujuannya jelas: menyokong finansial parpol dan menarik massa melalui artis yang sudah populer, jadi tidak perlu repot-repot kerja.
Rakyat saat ini juga cenderung memilih orang parpol yang sudah familier, sering wira-wiri di layar televisi sebagai bintang film, iklan, atau yang lainnya. Sang artis yang sudah populer pun tidak perlu pusing masuk parpol, tidak perlu susah belajar politik, berparlemen, atau manajemen kekuasaan. Cukuplah popularitasnya sebagai modal utama.
Pada akhirnya, parpol betul- betul diisi dengan orang-orang yang sekadar mengetahui kekuasaan (dan uang tentunya), tetapi tidak memahami untuk apa hakikat kekuasaan itu. Karena itu, mereka biasanya jadi anggota parpol yang fanatik dan kekuasaan kemudian mereka jadikan bahan rebutan dan konflik. Di mana ada celah untuk merebutnya akan dimasuki, apa pun risikonya. Padahal, kekuasaan hanyalahtools dan instrumen, bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah penciptaan kondisi yang lebih baik bagi bangsa dan negara. Tujuan akhirnya adalah menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Maka, penting sesungguhnya parpol diisi oleh orang-orang yang berkualitas, baik secara intelektual maupun moral-spiritual. Kualitas intelektual penting agar ia mengerti manajemen kekuasaan dan bagaimana cara mengelolanya demi kemaslahatan bersama. Kualitas moral-spiritual juga penting agar ia dapat menahan diri dari hasrat-hasrat serta godaan-godaan politik yang semata-mata berorientasi pada kekuasaan dan uang. Akan sangat berbahaya jika jiwanya kosong meski daya intelektualitasnya tinggi. Ia akan dengan mudah terseret dan tercebur arus, lalu terlibat dalam kasus korupsi, misalnya, atau suap-menyuap karena kekuasaan memang penuh dengan uang nan menggoda.
Agen sosial
Parpol bukan tempat untuk mencari uang dan materi. Bukan pula jadi tunggangan atau batu loncatan untuk mencari uang dan materi di pusat-pusat kekuasaan (eksekutif dan legislatif). Parpol adalah entitas politik yang memiliki peran besar dalam menyelesaikan persoalan bangsa dan negara. Ini perlu dipahami betul oleh para anggota parpol.
Parpol adalah agen sosial yang diharapkan memiliki kemampuan untuk merealisasikan terobosan ide dan gagasan mereka dalam masyarakat. Dengan kata lain, parpol adalah rumah pengabdian bagi masyarakat. Sebuah tugas yang sesungguhnya mulia karena melayani untuk kebaikan masyarakat.
Maka, mau tidak mau parpol dengan kader-kader terbaiknya perlu hadir di tengah-tengah rakyat, bukan sekadar datang dan menunjukkan keberadaannya, melainkan untuk melayani mereka. Sebab, pada hakikatnya parpol itu muncul dari rakyat. Rakyat adalah jiwa dan roh parpol.
Menjadi pelayan publik berarti bahwa keberadaan parpol dimaksudkan untuk melayani kepentingan masyarakat secara luas, bangsa dan negara. Hal-hal yang dilakukan parpol seyogianya berorientasi pada perbaikan kondisi masyarakat dan tidak hanya berfokus pada apa yang dirasakan benar oleh parpol tersebut. Menjadi pelayan publik berarti bahwa parpol adalah rumah bagi semua orang yang ingin mendapatkan pelayanan.
Jika kehadiran parpol di tengah-tengah masyarakat begitu bermakna, akan tercipta hubungan dua arah yang efektif, efisien, dan kuat. Menggunakan pendekatan Gioia dan Chittipeddi (1991), hubungan antara parpol dan masyarakat adalah hubungan iterasi.
Kedua pihak terlibat dalam membangun pemahaman bersama. Pada akhirnya, masyarakat akan merasakan betul manfaat dari kehadiran dan keberadaan parpol sebagai salah satu pilar utama demokrasi. Apatisme masyarakat terhadap parpol secara perlahan pun akan terkikis dengan sendirinya dan masyarakat akan bisa berharap banyak akan lahirnya perubahan kondisi ke arah yang lebih baik.
Parpol memang menjadi kunci utamanya. Jangan sampai yang selalu ditampilkan parpol di ruang publik dan disaksikan masyarakat luas adalah sisi-sisi negatifnya, yakni seni berpolitik yang membosankan dan cenderung memuakkan karena penuh akrobat politik yang tidak bermutu atau penuh lelucon yang tidak lucu layaknya badut. Parpol harus menunjukkan diri betul-betul sebagai penyambung lidah rakyat yang meyakinkan, berwibawa, karismatik, serta dapat diandalkan dan dipercaya.
Seperti dikatakan teolog John Calvin, yang dikutip Sabam Sirait dalam bukunya, Politik Itu Suci (2013), politisi adalah posisi yang suci dan sakral. Politisi dalam berbagai tindakannya sebagai figur publik menyandang tugas penting untuk memancarkan terang di tengah kegelapan.
FAJAR KURNIANTO, PENELITI PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN (PSIK) UNIVERSITAS PARAMADINA, JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 November 2016, di halaman 7 dengan judul "Makna Kehadiran Partai Politik".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar