Presiden Joko Widodo pun menyampaikan keprihatinan tentang tersebar luasnya ujaran kebencian—hujatan, ejekan, makian, dan fitnah—dalam media sosial (Kompas, 13/11). Kebencian di sana kian bergunung-gunung karena dalam menyikapi sebuah isu, netizen dengan pendapat yang sama mengelompok dalam grupnya sendiri tanpa bersentuhan pandangan dengan grup lain yang memiliki pendapat berbeda. Dalam setiap kelompok mereka,netizen beramai-ramai menghujat kelompok lain (Kompas, 20/11).
Kebencian yang biasanya jadi tabu dan karena itu menjadi tak tampak jelas, bahkan cenderung misterius, kini tampil telanjang, tanpa tedeng aling-aling. Namun, membenci dapat berujung meremukkan, menghancurkan, mematikan, memusnahkan. Maka, tatkala kebencian ingar- bingar di tengah percakapan warga, bangsa sungguh berada di bawah bayang-bayang keremukan.
Naluri
Semula adalah naluri, instinct. Sigmund Freud (1915) menyebutkan "naluri menghindari kematian" dan "naluri menumbuhkembangkan kehidupan". Kedua insting itu, tanpa dipelajari, sungguh hadir untuk mempertahankan hidup. Maka, ketika manusia mencintai, dia dibayang-bayangi membenci pesaingnya dalam mencintai, yang ia fantasikan bakal merebut obyek cintanya.
Buat manusia, hadirnya cinta sekaligus adanya benci. Cinta dan benci adalah dua hal terpisah tetapi hadir bersama-sama. Bahkan, pada titik-titik terawal kemunculannya, kebencian justru ditujukan pada obyek yang sedemikian dicintai karena sang obyek dicemburui bakal membiarkan si pesaing mencintainya. Ada kemenduaan, ambivalensi, cinta di satu sisi dan benci di sisi lain; ini adalah sebuah kebercabangan, dan bisa jadi, makin cinta berarti kian benci.
Psikoanalis Donald Woods Winnicott (1988) membayangkan seorang anak yang terus mencorati kertas putih di hadapannya dengan pensil. Betapa kacaunya coret-mencoret itu, kadang melewati tepian kertas pula. Namun, di tengah terus berlangsungnya kegiatan mencoret-coret itu, si anak bertumbuh kembang dan pada akhirnya tangan dan jari jemarinya memadukan ujung awal dari coretannya dengan ujung akhirnya. Ia membentuk sebuah lingkaran, yang pada bentangan tiga dimensi mewakili sebuah globe atau buana.
Lingkaran ataupun buana itu seperti mewakili sebuah keberadaan dengan membran pembatas yang mengelilingi seluruh dirinya. Dan, sekarang, setelah diri menjadi berselaput pembatas, lantas ada "yang di dalam" dan "yang di luar", sebuah "aku" dan suatu "bukan-aku", ada "aku" dan terdapat pula "liyan".
Dalam aku terdapat naluri-naluri itu, yang sebagian besar adalah agresif dan seksual, yang bermaksud menyelamatkan diri aku. Kalau perlu dengan merusak dan membenci apa pun. Namun, tatkala aku telah bersanding dengan liyan, ketika ada aku dan terdapat pula liyan, aku mulai tergelitik bertanggung jawab atas insting agresif dan seksualnya yang menggairahkan, tetapi meremukkan dan penuh kebencian.
Dalam naungan tanggung jawab yang bertumbuh kembang ini, dalam "aku" merebak pula rasa bersalah, keadaan depresif yang sehat, yang mendorongnya untuk menghayati betapa "liyan" jadi korban keganasan naluri-nalurinya. Kini kehidupan "aku" mampu mengintegrasikan atau menyatupadukan cinta-dan-benci (bukan memenduakan, tidak mengambivalenkan).
Ambivalensi diganti integrasi. Yang ada bukanlah cinta atau benci, melainkan cinta-dan-benci. Kebencian tidak lagi liar sendirian, tetapi dijinakkan oleh cinta. Barangkali inilah titik-titik awal sekaligus butir-butir mendasar dari tenggang rasa, toleransi. Dan, toleransi itu menerjalinkan "aku" (diriku sendiri) dan "liyan" (diri lain yang berbeda dari diriku sendiri).
Psikoanalis Jessica Benjamin melihat betapa pribadi manusia hanya bisa bertumbuh dengan baik jika ia diperlakukan orang- orang lain sebagai subyek (yang memiliki kemandirian). Namun, mengalami diri sendiri sebagai subjek hanya dimungkinkan jika diri sendiri itu melihat dan mengalami orang-orang lain sebagai subyek juga. Sebab, hanya orang lain yang adalah subyek pulalah yang dapat memberikan pengalaman bagi diri sendiri sebagai subyek. Penghayatan diri sebagai subyek tidak pernah dapat dilepaskan dari mengalami, mengakui, dan memperlakukan orang lain sebagai subyek pula.
Siapakah liyan itu? Ia adalah orang lain atau pihak lain yang pada suatu saat bisa menuruti apa yang diinginkan aku, tetapi bisa pula pada waktu yang lain sama sekali tidak mengiyakan apa yang dimaui oleh aku. Maka, hubungan subyek-dan-subyek itu pun meniscayakan tenggang rasa. Hubungan intersubyek itu integral dengan toleransi.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di bagian awal, kebencian tidak bisa dilarang untuk ada, tetapi bisa diupayakan untuk tidak jadi liar dalam agresi dan destruksi yang meluluhlantakkan hidup. Kebencian perlu berintegrasi dengan kecintaan sehingga manusia tidak digelantungi kemenduaan cinta dan benci. Benci terhadap mereka yang berbeda dari diri sendiri, benci terhadap mereka yang tidak mau mengikuti keinginan diri sendiri, barangkali memang manusiawi belaka. Namun, ketika diri sendiri perlu bertumbuh kembang, ia tidak bisa lagi mengingkari bahwa ia adalah subyek yang memerlukan liyan yang juga subyek. Pengakuan, penghayatan, dan pemerlakuan liyan sebagai subyek itulah yang melahirkan dan menumbuhkembangkan toleransi aku dan liyan.
Mendengar dan berbagi
Dalam tenggang rasa itu kebencian tidak musnah, tetapi dijinakkan dalam cinta. Kebencian tidak lagi liar sendirian, tetapi diresapi kecintaan. Agresi tidak lagi menghancurkan, tetapi terwujud dalam ketegasan dan gigihnya perundingan, yang melahirkan nilai-nilai baru, yaitu mendengarkan dan berbagi.
Barangkali inilah "keanekaragaman, keberbedaan, bahkan kebertentangan, tetapi yang menyatu padu". Liyan tidak pernah bisa dan tak akan boleh diperlakukan sebagai obyek atau sasaran, karena, sebagaimana diri sendiri atau aku, setiap liyan adalah subyek yang berkemandirian.
Ada kalanya manusia sebegitu agresif, menyerang, ingin memusnahkan liyan dan segala yang ada di luar dirinya. Mungkin inilah keadaan kejiwaan yang oleh psikoanalis Melanie Klein (1932, 1934) disebut sebagai posisi skizoid paranoid. Namun, wajarnya, sang manusia pun mampu bergeser ke posisi lain, yang disebut posisi depresif. Dalam keadaan kejiwaan terakhir itu, manusia menghayati rasa bersalah, ia mawas diri, dan karenanya jadi bertanggung jawab dalam menggunakan kendara agresifnya.
Tanggung jawab itu memberinya pengertian bahwa agresi tidak boleh meremukkan, merusakkan, atau memusnahkan. Agresi boleh ada dalam ketegasan nir-kekerasan dan kegigihan berunding, yang kemudian justru meningkatkan kemampuan untuk mendengarkan dan berbagi. Sayang sekali, kedua nilai inilah (mendengarkan dengan saksama dan berbagi di antara sesama manusia) yang tidak bertumbuh di antara kelompok berpandangan diametral dalam media sosial.
LIMAS SUTANTO, PSIKIATER KONSULTAN PSIKOTERAPI, TINGGAL DI MALANG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar