Perdebatan muncul mengenai kedudukan dan sejauh mana kewenangan pejabat pelaksana tugas dalam memimpin pemerintahan daerah. Berangkat dari kasus pemerintahan DKI Jakarta atau mungkin juga daerah lain, di mana pejabat pelaksana tugas mengubah kebijakan anggaran yang telah ditetapkan oleh gubernur definitif, muncul pertanyaan, apakah pejabat pelaksana tugas memiliki kewenangan yang sama dengan pejabat definitif?
Mengenai pejabat pengganti di pemerintahan daerah, dikenal dua istilah, yakni pelaksana tugas dan penjabat. Merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda) dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, pelaksana tugas diangkat ketika pejabat definitif berhalangan sementara. Sementara "penjabat" diangkat ketika terjadi kekosongan jabatan karena pejabat definitif diberhentikan sementara atau diberhentikan tetap. Pembedaan kedua istilah itu membawa konsekuensi atas kewenangannya.
Kewenangan terbatas
Terkait pilkada memang tidak diatur secara khusus. Undang-Undang Pilkada ataupun Undang-Undang Pemda tidak mengatur perihal tersebut. Walaupun demikian, kita dapat merujuk pada konsep pelaksana tugas yang diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Bagaimana kewenangan pejabat pelaksana tugas? Satu hal yang jelas, pejabat pelaksana tugas bukanlah pejabat definitif sehingga kewenangannya tentu tidak sama dengan pejabat sebenarnya. Pejabat pelaksana tugas kepala daerah, bukanlah gubernur, bupati, atau wali kota yang dipilih oleh rakyat melalui pilkada dan memperoleh kewenangannya secara atributif melalui konstitusi dan undang-undang.
Pejabat pelaksana tugas adalah pejabat yang ditunjuk dan memperoleh kewenangannya secara mandat dari atasan untuk menjalankan tugas rutin pemerintahan.
Berdasarkan cara perolehan kewenangan itu, maka kewenangan pejabat pelaksana tugas sangatlah terbatas. Undang-Undang Pemda dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (Pasal 14) membatasi tugas pejabat pelaksana tugas hanya sebatas pelaksanaan tugas rutin. Yaitu, melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah yang tidak berkaitan dengan pengambilan kebijakan yang bersifat strategis dalam aspek keuangan, kelembagaan, kepegawaian, dan perizinan.
Termasuk dalam kebijakan strategis adalah kebijakan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah, perubahan struktur organisasi, perubahan status hukum kepegawaian (melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai), serta perubahan alokasi anggaran yang sudah ditetapkan alokasinya.
Artinya, pejabat pelaksana tugas dilarang membuat kebijakan strategis di atas. Kewenangan pejabat pelaksana tugas hanya sebatas "menjalankan" kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pejabat definitif.
Kewenangan yang sifatnya administratif dapat saja dilakukan pejabat pelaksana tugas, misalnya menandatangani dokumen yang sudah ditetapkan sebelumnya atau tugas administratif rutin lainnya. Bukan membuat kebijakan strategis baru, apalagi mengubah kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pejabat definitif.
Masalah permendagri
Undang-Undang Pemda memberi mandat agar hal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sepanjang penelusuran penulis, peraturan pemerintahnya tidak pernah muncul. Menteri dalam negeri berinisiatif mengaturnya. Terbitlah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 74 Tahun 2016 tentang cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah yang ikut pilkada.
Walaupun permendagri ini tentang cuti, dalam salah satu pasalnya diselipkan mengenai pengangkatan pejabat pelaksana tugas kepala daerah dan wewenangnya. Berdasarkan Pasal 9 Permendagri itu, wewenang pejabat pelaksana tugas tidak lagi sekadar melaksanakan tugas rutin pemerintahan, tetapi melebar pada hal-hal kebijakan strategis yang semestinya menjadi kewenangan pejabat definitif. Inilah pangkal masalahnya.
Jika hanya menandatangi dokumen perda Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta perda organisasi perangkat daerah tentu tidak masalah. Akan tetapi, permendagri menyamakan kewenangan pejabat pelaksana tugas dengan pejabat definitif, yaitu memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Dengan begini, pejabat pelaksana tugas mendapat legitimasi untuk bertindak seolah-olah sebagai pejabat definitif yang, misalnya, dapat merombak perencanaan strategis pemda dan alokasi anggaran. Permendagri juga membolehkan pengisian dan penggantian pejabat, setelah dapat persetujuan menteri (padahal pejabat definitif saja dilarang oleh Undang-Undang Pilkada untuk melakukan penggantian pejabat sejak enam bulan sebelum pilkada). Aturan permendagri itu jelas melangkahi ketentuan Undang-Undang Pemda, Undang-Undang Pilkada, dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Masalah lain permendagri adalah aturan ini memperluas kewenangan mendagri dengan mengatasnamakan presiden. Terlihat dari dua hal, yakni terkait pemberian cuti kepada petahana dan pengangkatan pejabat pelaksana tugas. Mestinya kedua hal itu diatur peraturan presiden. Bahwa kemudian presiden melimpahkan keputusan pemberian cuti dan pengangkatan pelaksana tugas kepada mendagri, itu harus ditegaskan melalui peraturan presiden, bukan permendagri.
Beginilah problem regulasi di tingkat pemerintahan. Pada praktiknya jamak ditemukan regulasi di tingkat kementerian yang menganulir atau melumpuhkan aturan undang-undang. Regulasi tingkat kementerian ini sulit diawasi. Padahal salah satu penyebab korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang bersumber pada aturan yang memang sudah keliru dari awal sehingga memunculkan kekeliruan-kekeliruan berikutnya.
OCE MADRIL
Dosen Fakultas Hukum UGM; Pegiat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara Yogyakarta; Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Pelaksana Tugas Kepala Daerah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar