Data tersebut diungkapkan oleh dua lembaga PBB, yakni Unicef dan UNESCO, setahun lalu, 2015. Jumlah anak dan remaja yang tidak dapat sekolah atau terpaksa keluar dari sekolah tersebut belum ditambah dengan anak-anak dan remaja di kawasan Asia Selatan, seperti Afganistan dan Pakistan, serta kawasan-kawasan lain yang didera peperangan, kemiskinan, dan diskriminasi jender.
Selain itu, data tersebut di atas juga bisa bertambah banyak kalau saat ini dihitung ulang. Waktu setahun, kiranya, sangat berarti. Oleh karena, misalnya, di Suriah perang tidak semakin mereda, tetapi justru sebaliknya, semakin menjadi-jadi. Tentu saja, yang menjadi korban pun bertambah banyak, termasuk anak-anak.
Kita mengetahui, sekurang-kurangnya membaca dan mendengar berita yang disiarkan media bahwa konflik di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara telah mencapai tingkat merusak dan horor. Pembunuhan, penculikan, dan penahanan pelajar, para guru, dan personel pendidik secara sewenang-wenang telah menjadi hal yang umum terjadi.
Di banyak wilayah, negara, fasilitas pendidikan seperti gedung sekolah diduduki dan dijadikan sebagai markas kelompok bersenjata dan juga digunakan sebagai tempat- tempat penahanan.
Sekadar sebagai gambaran, tahun 2014 merupakan tahun yang paling mematikan sejak 2008. Sepanjang tahun itu, hampir 700 anak tewas terbunuh dan 500 anak lainnya luka-luka karena bom dan senjata lainnya. Paling kurang 950.000 anak usia sekolah terpaksa meninggalkan bangku sekolah.
Di dalam negeri Suriah, sebanyak 5,4 juta anak dan remaja, usia 5-17 tahun, dan 1,4 juta pengungsi Suriah yang tersebar di lima negara, membutuhkan pendidikan. Tahun lalu, satu dari empat sekolah tidak dapat digunakan karena rusak atau hancur, atau digunakan untuk tempat perlindungan atau markas militer.
Akibatnya sangat jelas: lingkungan tidak mendukung bagi proses belajar-mengajar. Hal semacam itu akan berakibat buruk bagi masa depan negeri tersebut karena terputusnya generasi terpelajar, generasi tercerahkan yang semestinya akan membangun negeri itu.
Sebenarnyalah, tidak hanya di negeri-negeri yang dilanda peperangan saja pendidikan anak dan kaum muda bermasalah. Namun, di negeri yang aman dan damai seperti di Indonesia ini juga terjadi. Pendidikan anak-anak dan kaum muda perlu diperbaiki, diselamatkan untuk masa depan yang lebih baik, lebih cerah, lebih menjanjikan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Anak-anak, Pendidikan, dan Perang".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar