Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 18 November 2016

TAJUK RENCANA: Merespons Situasi Normal Baru (Kompas)

Jangan abaikan situasi normal baru. Demikian peringatan yang muncul pada Diskusi Panel Ekonomi Kompas, "Prospek Ekonomi Indonesia 2017", Rabu (16/11).

Kondisi normal baru itu, menurut para panelis, menuntut pula respons kebijakan baru yang tepat jika kita tetap ingin pertumbuhan ekonomi yang stabil dan sehat ke depan.

Istilah "normal baru" (new normal) terkait situasi ekonomi global dewasa ini pertama kali muncul pada pertemuan Forum Ekonomi Dunia ke-45 di Davos, Swiss, 2015. Istilah ini awalnya lebih untuk menggambarkan kondisi ekonomi Tiongkok. Setelah tiga dekade tumbuh dua digit per tahun, perekonomian Tiongkok mengalami perlambatan dan diperkirakan stabil di level 5-7 persen. Pertumbuhan lebih rendah itulah yang dianggap situasi normal baru.

Mengingat Tiongkok merupakan perekonomian kedua terbesar dan pemain utama perdagangan dunia, apa yang terjadi di Tiongkok berdampak pada ekonomi global, yang mau tak mau memasuki era normal barunya sendiri. Era normal baru ini ditandai stagnasi atau pertumbuhan rendah, baik di negara maju maupun berkembang, suku bunga rendah, anjloknya harga komoditas, dan gejolak nilai tukar.

Dalam beberapa hal juga ditandai krisis ekonomi persisten. Perlambatan juga terjadi pada investasi dan perdagangan dunia. Perdagangan global—yang selama enam dekade sebelumnya selalu tumbuh lebih cepat dibandingkan produksi dan pendapatan—melambat sejak 2010 dan mencatat pertumbuhan terendah tahun ini.

Lebih jauh, era normal baru juga ditandai lonjakan pengangguran dan ketimpangan. Ini diperparah lagi perubahan iklim. Semua ini meningkatkan ketidakpastian. Faktordownside yang lebih dominan daripada faktor upside ini dipersuram terpilihnya Donald Trump yang anti globalisasi dan proteksionis serta absennya inisiatif perdagangan bebas baru. Akibatnya, dunia akan cenderung inward-looking.

Kita diingatkan untuk mewaspadai situasi normal baru karena tanpa antisipasi, strategi, dan respons kebijakan yang baik, kita cenderung terus jadi bulan-bulanan dari setiap perubahan yang terjadi pada ekonomi global. Kealpaan dan salah urus ekonomi membuat kita tak berada dalam situasi menguntungkan di tengah kondisi global seperti ini.

Deindustrialisasi membuat kita tak mampu berperan signifikan dalam rantai produksi dan pasokan global. Kita juga belum mampu lepas dari ketergantungan pada ekspor komoditas primer. Kita jauh tertinggal dari negara lain dalam segala hal, tersalip negara seperti Vietnam, bahkan tak lama lagi mungkin Myanmar dan Kamboja.

Bukan hanya manufaktur, kita juga salah urus sektor pertanian. Buntutnya, nilai tukar petani dan daya beli pekerja terus merosot dan berakibat tekanan pada konsumsi domestik sebagai motor pertumbuhan di tengah perlambatan investasi, ekspor, dan belanja pemerintah.

Peringatan panelis soal kejelasan arah kebijakan, konsistensi, dan game of planmenjadi penting. Jangan, misalnya, mencanangkan tol laut, tetapi yang dibangun jalan tol.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Merespons Situasi Normal Baru".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger