Demokrasi Indonesia masih muda. Usianya baru 18 tahun setelah gerakan reformasi mengakhiri kekuasaan otoriter Orde Baru pada 1998. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Agus Widjojo, saat meluncurkan indeks ketahanan nasional di Jakarta, mengutip pendapat ahli ilmu politik Juan Linz soal teori transisi demokrasi. Linz mengatakan, demokrasi terkonsolidasi jika demokrasi diyakini sebagai the only game in town.
Wacana politik belakangan ini, seperti munculnya isu makar, isu pengambilalihan kekuasaan, dan mobilisasi kekuasaan massa sebagai kelompok penekan, menunjukkan belum matangnya demokrasi Indonesia. Meskipun munculnya isu masih bisa diperdebatkan, muncul dan dimunculkannya isu itu, tetaplah menunjukkan masih ada kelompok kecil masyarakat yang belum meyakini demokrasi sebagai the only game in town.
Dalam teori Linz, semua masalah bangsa harus bisa diselesaikan dengan cara bermartabat dengan menggunakan semua instrumen demokrasi, seperti partai politik yang menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengagregasikan kepentingan masyarakat serta menjadikan DPR sebagai tempat mengontrol jalannya kekuasaan. Partai politik dan DPR seharusnya berperan untuk menyalurkan aspirasi rakyat mengontrol kerja eksekutif.
Dalam latar belakang itulah, kita menggarisbawahi hasil rapat kerja nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan menolak dan tidak akan menoleransi upaya mengganti kekuasaan dengan cara-cara tidak konstitusional. MUI mengusulkan ada dialog nasional yang melibatkan semua elemen bangsa agar tidak ada perpecahan bangsa (Kompas, 24 November 2016).
Pandangan MUI itu sejalan dengan prinsip demokrasi. Demokrasi juga menganut prinsip pergantian kekuasaan secara periodik melalui mekanisme pemilu. Demokrasi juga menuntut penghormatan atas tegaknya supremasi hukum dan konstitusi. Kepercayaan pada sistem hukum, sistem peradilan juga menunjukkan kuat tidaknya bangsa Indonesia pada sistem demokrasi itu sendiri.
Kita dorong elite politik bisa duduk satu meja untuk mengurangi prasangka dan praduga yang memunculkan kecurigaan. Bangsa ini membutuhkan negarawan-negarawan yang punya komitmen dan memikirkan masa depan bangsa, bukan semata-mata politisi pemburu kekuasaan. Pertemuan elite secara bersama-sama akan memperkuat kohesivitas kita sebagai bangsa yang dibelah pemain media sosial yang tidak bertanggung jawab terhadap nasib negeri ini.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Kepercayaan pada Demokrasi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar