Merujuk berita berjudul "Kritik Publik Tidak Didengar" di harian Kompas (Kamis, 17/11), tergelitik saya untuk menyampaikan hal-hal berikut. Tampak jelas bahwa dalam sistem pemantauan kehadiran anggota Dewan di DPR masih menggunakan cara kuno, yaitu daftar hadir yang ditandatangani. Menjadi pertanyaan, apakah sistem demikian juga berlaku untuk semua bagian di lingkup DPR, seperti sekretariat.
Mungkin karena mereka tidak melihat potensi adanya proyek dalam mengelola sistem kehadiran maka mereka bertahan menggunakan sistem tanda tangan. Padahal, menggunakan perangkat pemindai sidik jari jauh lebih praktis dan tidak mudah dipalsukan.
Saya tidak tahu berapa nilai proyek pemindai seperti di atas, yang jelas tidak mungkin ada titip-menitip tanda tangan. Sementara di sisi lain, berbagai data kehadiran dapat diperoleh, seperti datang jam berapa, keluar jam berapa, apakah kembali lagi atau tidak, dan seterusnya.
Alat demikian bukan teknologi terbaru, melainkan telah digunakan di sejumlah instansi. Mulai dari sekolah, rumah sakit, hingga instansi pemerintah daerah. Bertahannya DPR dengan model absensi tanda tangan memunculkan prasangka buruk. Mengapa DPR menggunakan sistem kuno dan tidak menggunakan alat pemindai sidik jari? Jangan-jangan memang seperti sangkaan saya: tidak ada proyeknya.
Semoga anggota DPR yang terhormat selalu berpikir modern sesuai dengan kemajuan zaman.
SAYOSO
Kampung Patangpuluhan, Gajahan, Solo
Kata Bhinneka
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Bapak Jakob Sumardjo atas tulisannya diKompas (30/11) yang berjudul "Bhinneka Tunggal Ika", perkenankanlah saya ikut urun rembuk berkaitan dengan istilahika.
Dalam tulisan disebutkan "Kesempurnaan adalah kesatuan-keikaan. Keterpecahan dan keterpisahan adalah ketidaksempurnaan. Semakin kaya perbedaan, semakin tinggi kesempurnaan, asal diikakan".
Kata ika berasal dari kakawin Jawa Kuno, yaitu Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular. Empu ini hidup abad ke-14, semasa Kerajaan Majapahit, dengan kutipan berikut: Bhinneka tunggal ika tan hanya dharma mangrwa. Kata bhinnekaberasal dari gabungan kata bhina yang berarti "to separate, to disagree" dan ekayang berarti satu, sehingga artinya menjadi berbeda.
Kata ika dalam kalimat tersebut tidak berarti satu, tetapi merupakan imbuhan akhir yang berarti "itu" atau "related to" terkait kata tunggal yang berarti satu (dalam arti satu-satunya) sehingga Bhinneka Tunggal Ika bermakna berbeda tetapi satu.
DHARMA K WIDYA
Jalan Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat
Kos dalam Kluster
Sebagai pemilik rumah di Cluster Newton, Gading Serpong, saya sudah berkali-kali mengajukan keluhan kepada pihak Summarecon Serpong tentang rumah yang jadi rumah kos.
Pihak Summarecon Serpong selalu menjawab akan menindaklanjuti dan butuh waktu untuk menertibkan. Namun, sampai saat ini belum beres juga. Padahal, dalam ketentuan penghunian bangunan dan permukiman, jelas dinyatakan tidak boleh mengubah fungsi bangunan dari rumah tinggal menjadi tempat usaha, termasuk kos-kosan.
Apakah Summarecon tidak berdaya menegakkan peraturannya sendiri? Adanya kos-kosan berdampak pada mobil dan sepeda motor berkecepatan tinggi, suara berisik orang bicara tengah malam, dan keramaian di kawasankluster.
MICHAEL KAO
Cluster Newton, Jalan Newton Timur 1, Gading Serpong, Tangerang, Banten
Penumpang Bus
Saya menggunakan bus transjakarta dari Halte Cakung ke Pasar Senen (24/11) menunggu 20 menit. Bus hanya sampai Halte Asmi, berarti harus transit. Sekitar 30 menit tiba di tujuan.
Pulang dari Pasar Senen menggunakan bus transjakarta lagi dan harus kembali transit di Halte Asmi karena akan menuju Cakung-Harapan Indah. Ternyata Halte Asmi cukup padat penumpang dengan tujuan sama.
Sekitar 20 menit menunggu, bus datang dan kami naik dengan penuh perjuangan. Dengan penumpang sebanyak itu, hanya ada satu pintu. Jeda kedatangan bus juga memicu lonjakan calon penumpang di halte.
Seharusnya pengelola memperbanyak jumlah bus dan dengan jadwal tiap 10 menit.
NADYA HANAFIAH
Jalan Raya Bekasi, Cakung Barat, Jakarta Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar