Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 20 Desember 2016

Alarm Telah Berbunyi Nyaring (Kompas)

Bara api di Timur Tengah tak pernah padam. Konflik dan perang membakar kehidupan masa depan, dan hampir tak menyisakan peradaban masa silam. Suriah, Libya, Irak terbelah, menambah buram peta geopolitik kawasan yang tak jua selesai didera masalah Palestina. Ada contoh klasik sebuah negara-bangsa modern, "pemain dunia" pada dekade 1950-1960 yang terbelah berkeping-keping menjadi negara lebih kecil, awal dekade 1990. Yugoslavia tinggal menjadi catatan sejarah.

Yugoslavia yang adalah negara multietnik dan multikultural bubar bukan karena faktor luar. Sejarawan asal Jerman, Holm Sundhaussen (2012), menyatakan, Yugoslavia bubar akibat perbuatan kelompok-kelompok politiknya sendiri. Yugoslavia adalah teman Indonesia, sama-sama pelopor Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika 1955 yang kemudian memunculkan Gerakan Non Blok, kekuatan penyeimbang di antara Blok Barat (Amerika Serikat dkk) dan Blok Timur (Uni Soviet dkk). Artinya, Indonesia juga pemain dunia. Dalam sejarah, sudah teruji tangguh, tetapi sekaligus juga menyimpan kerentanan.

Pilar-pilar bangsa yang ditopang oleh serpihan perbedaan di masa perjuangan lampau kini terlihat berkarat. Peristiwa akhir-akhir ini, baik dalam bentuk gerakan massa maupun dalam pikiran yang tersebar di dunia maya (media sosial), terkhusus tersulut kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), memperlihatkan "keterbelahan" bangsa ini berada di "titik didih".

Hal itu terkonfirmasi dengan hasil kajian Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) tahun 2016. Kajian itu mengukur ketahanan nasional yang terdiri dari tiga gatra bersifat statis (geografi, demografi, kekayaan alam) dan lima gatra bersifat dinamis (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan/hankam). Ukuran skalanya 1-5. Makin besar angkanya, makin baik. Sebaliknya, angka makin kecil berarti makin buruk.

Lemhannas menandai skala itu dengan warna-warna yang juga punya makna. Angka 1-1,8 adalah berarti rawan (berwarna merah), 1,8-2,6 berarti kurang tangguh (kuning), 2,6-3,4 berarti cukup tangguh (hijau), 3,4-4,2 berarti tangguh (biru), 4,2-5 berarti sangat tangguh (ungu).

Temuan Lemhannas menunjukkan indeks ketahanan nasional tahun 2016 hanya 2,60. Ini masuk kategori kurang tangguh. Ada empat gatra yang berkontribusi kurang tangguh, yakni sumber kekayaan alam (2,56), ideologi (2,06), politik (2,43), dan sosial budaya (2,14). Namun, empat gatra lain terbilang cukup tangguh, yaitu geografi (2,68), demografi (2,96), ekonomi (2,73), dan hankam (3,08).

Meskipun demikian, secara agregat, indeks ketahanan nasional bangsa ini sesungguhnya mencemaskan. Dibandingkan temuan tahun 2010 yang berskala 2,43 dan tahun 2015 berskala 2,55, memang temuan tahun 2016 ini ada "peningkatan poin".

Namun, hal itu tidak berarti apa-apa ketika masih berwarna kuning. Artinya, selama lebih lima tahun ini ketahanan ideologi bangsa "kurang tangguh". Apalagi, jika dikaitkan dengan persoalan ideologi bangsa yang tengah hangat akhir-akhir ini, bertambah runyam karena angkanya paling rendah (2,06).

Ujian

Apa arti kurang tangguh itu? Keuletan dan ketangguhan bangsa ini berada pada kondisi yang lemah walaupun dalam jangka pendek negara masih dapat bertahan dari tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan (TAHG). Jika dikaitkan dengan situasi akhir-akhir ini, sangat riskan mengingat kondisi daya lentur bangsa ini lemah. Toleransi mendapat ujian karena polarisasi masyarakat tidak lagi bersifat laten. Pemilihan Presiden 2014 menjadi titik awal ekstremnya polarisasi publik, termasuk di dunia maya (media sosial).

Meskipun Presiden Joko Widodo berkali-kali menunjukkan persahabatan dengan Prabowo Subianto, rival saat pemilihan presiden lalu, tetap saja keterbelahan masyarakat tidak lantas sirna. Pertemuan kedua tokoh itu tidak lantas menjadi "pesan" agar publik-pendukung masing-masing-memahami kebersamaan juga merembes ke akar rumput. Bahkan, terkadang pertemuan kedua tokoh itu dimaknai macam-macam yang dilukiskan dengan berbagai meme sindiran.

Karakter dunia maya memang tidak mudah dipahami. Ujaran kebencian (hate speech) atau persoalan suku, agama, ras, antargolongan (SARA) begitu memenuhi ruang dunia maya. Nyaris sulit menemukan pola komunikasi yang dialogis. Yang dominan justru pandangan intoleran dan mengerasnya sikap masing-masing pihak. Sekarang ini di dunia maya publik justru lebih "percaya" dengan berita-berita yang belum terkonfirmasi atau hoax. Kebenaran informasi atau berita bukan lagi diutamakan. Buktinya, publik dunia maya (netizen) lebih cenderung membagi berita hingga menjadi viral justru dari sumber-sumber yang tak jelas. Netizenberpaling dari sumber-sumber beritamainstream yang terverifikasi.

Padahal, dunia maya menjadi dunia kelas sosial yang memiliki akses pendidikan, ekonomi, sosial, politik lebih baik, yang rata-rata bagian dari kelas menengah yang mulai muncul di era Orde Baru. Kelas ini menjadi subyek penting dalam perubahan-perubahan politik-ekonomi ataupun sosial-budaya. Namun, perubahan-perubahan besar Indonesia, dengan bonus demografinya, titik rawannya malah berada di kelas menengah. Perilaku kelas menengah menjadi titik genting karena berpengaruh ke kalangan bawah.

Dalam komposisi kelas menengah itu, ada the rising middle class pedesaan terdidik yang menjadi kaum urban, kemudian mencari identitas, di antaranya lewat jalan spiritualitas. Dalam kalangan Muslim, misalnya, kelompok-kelompok itu mendominasi masjid-masjid kampus di perguruan tinggi negeri yang selama ini terlupakan oleh organisasi masyarakat besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pasalnya, mereka fokus ke kampus-kampus yang dibangun sendiri. Akibatnya, kampus PTN pun cenderung jadi pemasok pandangan yang lebih keras. Di sisi lain, juga menjadi ruang baru bagi kelompok thefalling middle class.

Tak hanya itu, sebetulnya di internal ormas-ormas arus utama itu juga terjadi pergulatan di mana muncul kelompok-kelompok muda yang punya pandangan lebih keras. Menggunakan media sosial, mereka mengungkapkan sikap sendiri sehingga terkesan representasi dari sikap ormas arus utama. Padahal, hal itu tidak terkait sama sekali dengan sikap ormas tempat mereka bernaung. Oleh karena itu, Muhammadiyah yang terus mengembangkan mazhab harmonis, misalnya, meskipun tidak mudah, tetap membuka ruang dialog dengan kelompok-kelompok keras yang tumbuh di internal. Dialog itu terus dilakukan dalam upaya membangun kesamaan visi kebangsaan.

Transformasi demokrasi

Di sisi lain bermunculan penceramah-penceramah-baik di Islam, Kristen, maupun agama lain-yang pengalaman pendidikannya kurang kuat. Namun, mereka pandai bicara, muda, berpenampilan menarik, media darling, dan populis. Mereka ini yang justru memikat hati publik. Sebaliknya, kiai-kiai yang memiliki basis pengalaman pendidikan dan keilmuan yang amat panjang dan paham yang toleran serta moderat sebagaimana banyak dimiliki oleh NU justru kurang diminati publik.

Hal itu bisa jadi karena kurang akses media, sudah tua, atau kurang populer. Dengan realitas itu dan terkait upaya membangun visi keindonesiaan, pemerintah dirasakan perlu memberi panggung kepada tokoh-tokoh agama sehingga publik memperoleh pemahaman yang lebih luas, sejuk, dan moderat. Setidaknya mereka menjadi penanding yang bisa mengerem pandangan-pandangan yang keras.

Masalah agama dan kemudian relasinya dengan negara memang belum selesai sampai hari ini. Namun, spirit NU dan Muhammadiyah secara tegas menyatakan bahwa relasi tersebut secara simbiotik adalah spirit kebangsaan. Dalam pandangan ormas-ormas tersebut, Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan hubungan negara dan agama yang lebih pas. Namun, faktanya, persoalan sekarang yang muncul adalah gejala sektarianisme dan juga primordialisme, antara lain dalam konteks otonomi daerah.

Munculnya persoalan itu dipercaya akibat transformasi demokrasi belum terjadi sejak reformasi 18 tahun silam. Selama ini yang terjadi adalah transisi demokrasi, bukan transformasi demokrasi. Hanya berganti aktor, tetapi perilaku belum berubah. Tampaknya masih jauh untuk menemukan perubahan nilai-nilai. Dengan kata lain, pasca tumbangnya Orde Baru, Indonesia baru "berganti", belum "berubah". Dengan konsep demokrasi yang dinilai belum matang, akan timbul situasi yang tidak pasti arahnya ke mana.

Inilah kenyataannya bahwa kekuatan masyarakat madani (civil society) sebagai kekuatan yang menumbangkan Presiden Soeharto tahun 1998 ternyata gagal menghancurkan Orde Baru secara total karena memang sifat civil society itu terpecah-pecah dan tak teratur (Hadiz, 2000).

Sebagai gambaran, aktor-aktor politik atau institusi politik baru gagal menghasilkan suatu agenda konkret terkait reformasi ekonomi dan politik lebih komprehensif. Maka, sampai saat ini panggung politik lebih banyak menampilkan adegan-adegan gaduh yang dramatik. Padahal, pasca Orde Baru, slogan reformasi dan demokratisasi menjadi jargon politik berdaya tarik luar biasa, tetapi tidak memberikan dasar bagi pembentukan platform perjuangan politik yang konkret.

Ambil contoh Pancasila. Ketika pengamalan Pancasila semasa Orde Baru dicemooh sebagai tindakan indoktrinasi dan kaku yang membuat Pancasila membeku, tetapi rezim reformasi juga tidak bisa menawarkan opsi "peta jalan baru" mencerahkan dan dialogis agar Pancasila menjadi ideologi yang terus berkembang dan hidup. Ini adalah kegagalan besar, hanya membuang waktu percuma sepanjang 18 tahun reformasi ini.

Karena itu, temuan Lemhannas tentang kurang tangguhnya ketahanan nasional adalah sebuah peringatan. Harus ada perbaikan signifikan jika negara-bangsa ini tak ingin bubar berkeping-keping seperti Yugoslavia atau terbakar seperti negara-negara di Timur Tengah. Alarm telah berbunyi nyaring, jangan berdiam diri!

M SUBHAN SD

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Alarm Telah Berbunyi Nyaring".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger