Persoalan utama dalam UN adalah bahwa kebijakan ini tidak berhasil menumbuhkan semangat pembelajaran otentik. Padahal, pembelajaran otentik merupakan prasyarat sebuah kualitas pendidikan. Akar persoalannya adalah pencampuradukan satu alat evaluasi untuk sejumlah tujuan. UN yang bersifat sumatif dipakai juga untuk proses seleksi, pemetaan, dan evaluasi pembelajaran.
Ujian nasional itu bersifat sumatif sebab menilai capaian pembelajaran peserta didik pada kurun waktu tertentu. Tujuannya untuk mengukur sejauh mana siswa menguasai materi. UN yang bersifat sumatif tidak dipakai sebagai alat untuk menyeleksi siswa ke perguruan tinggi.
Alat ukur untuk seleksi masuk perguruan tinggi memiliki tujuan berbeda. Ia tidak mencari sejauh mana siswa memahami materi, tetapi mendiskriminasi dan menyeleksi individu berdasarkan kemampuan yang dipersyaratkan. Fungsinya adalah memilih kandidat terbaik untuk program pendidikan tertentu.
Ketika UN dipakai untuk alat ini, perguruan tinggi enggan mempergunakan nilai-nilai UN sebagai satu-satunya syarat seleksi. Adanya indikasi pelaksanaan teknis UN yang tidak sesuai standar, terjadi kecurangan dan kebocoran, semakin membuat PTN tidak mau mempergunakan UN sebagai syarat utama seleksi.
Ketidakpercayaan perguruan tinggi pada nilai UN melahirkan strategi lain dalam seleksi mahasiswa baru, yaitu melalui kebijakan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) jalur undangan dengan nilai rapor sebagai kriteria. Namun, kebijakan ini justru kontraproduktif karena ternyata terjadi manipulasi nilai rapor di sekolah sejak semester pertama.
Kebijakan seleksi masuk PT melalui jalur undangan, yaitu melalui penilaian rapor, membuat setiap sekolah berusaha membuat profil nilai rapor siswa baik sejak semester awal. Manipulasi nilai rapor didukung kebijakan penilaian pendidikan di tingkat sekolah berupa kriteria ketuntasan minimal (KKM). KKM yang dipahami secara salah kaprah membuat kredibilitas penilaian oleh sekolah jadi bermasalah.
Salah kaprah konsep KKM telah terjadi praktis di hampir semua sekolah. Nilai KKM yang seharusnya merupakan capaian tiap kompetensi dasar sekarang dipahami sebagai nilai minimal peserta didik di dalam rapor. Karena itu, apabila sekolah ingin profil akademik peserta didiknya baik, KKM dibuat setinggi mungkin. Akibatnya, guru bisa terengah-engah memaksa peserta didik agar sesuai KKM melalui berbagai macam bentuk remedial, atau sebaliknya, asal sudah ada remedial, siswa tersebut memperoleh nilai rapor sesuai KKM. Dampak lanjutannya adalah siswa malas belajar, mengandalkan remedial untuk memperoleh nilai KKM. Kebijakan KKM mendemotivasi siswa dalam belajar dan merendahkan moral guru dalam mengajar.
Sekolah atau guru terpaksa memberikan nilai KKM kepada peserta didik karena ada kebijakan lain yang mendukungnya, yaitu sistem input data nilai dalam dapodik yang mewajibkan setiap peserta ujian nasional memiliki nilai minimal KKM. Kalau ada peserta didik belum mencapai nilai KKM, data siswa tidak terverifikasi dan siswa tersebut tidak bisa mengikuti ujian nasional. Alasan inilah yang membuat hampir semua sekolah memberikan nilai KKM kepada siswa agar dapat mengikuti UN.
Cara-cara mengelola pendidikan seperti ini jauh dari pengembangan pembelajaran otentik. Kebijakan evaluasi dan penilaian pendidikan di tingkat unit sekolah sudah terkorupsi sehingga proses belajar mengajar tidak lagi menawarkan pengalaman belajar yang otentik.
Dua alasan
Ujian nasional terstandardisasi harus ditolak bukan hanya karena telah melahirkan dampak-dampak negatif ikutan, seperti belajar hanya untuk tes, terjadinya kecurangan-kecurangan, dan manipulasi nilai, melainkan juga karena alasan antropologis dan pedagogis sebagai basis proses pendidikan yang baik.
Ujian terstandar, seperti UN, pertama- tama menganggap manusia sebagai benda yang bisa distandardisasi. Istilah standar lebih tepat diterapkan pada produk barang industri daripada manusia. Ujian nasional juga memiliki asumsi pemikiran behavioristik yang sudah tidak adekuat lagi sebagai konsep untuk memahami manusia terdidik.
Teori behavioristik ini masih mewarisi gambaran model manusia ala Pavlov yang bekerja berdasarkan stimulus dari luar. Konsep ini meremehkan motivasi internal individu dalam belajar. Teori behavioristik sudah ketinggalan zaman ketika berhadapan dengan temuan baru dalam pedagogi pembelajaran yang bersifat lebih konstruktivis, baik secara individual maupun sosial.
Secara pedagogis, UN tidak mampu memotret otentisitas pengalaman belajar peserta didik. Dari sisi teori penilaian pendidikan, UN yang lebih banyak menggunakan model pilihan ganda mempersempit cakupan pengetahuan dan keterampilan peserta didik sehingga tidak mampu memotret keseluruhan profil akademik peserta didik.
Teori pembelajaran yang mutakhir lebih mengacu pada kebutuhan siswa sebagai pembelajar yang memiliki kemampuan konstruktif membentuk dasar-dasar keilmuan berhadapan dengan pengalaman dan bakat-bakatnya. Potensi inilah yang mengarahkan mereka pada profesi dan pilihan hidup di masa depan.
Proses pembelajaran yang membuat siswa aktif mengonstruksi pengetahuan berdasarkan tahap perkembangan kognitif, emosi, dan sosialnya, lebih merepresentasikan gambaran manusia nyata zaman sekarang. Ini sangat didukung banyak riset (Schapiro, 2007; Hargreaves, 1993; Supovitz, 2009).
Pemerintah perlu mengubah konsep antropologi pendidikan dan memilih pendekatan pedagogis yang lebih relevan dan aktual. Perubahan ini memiliki konsekuensi bahwa evaluasi tidak lagi dinilai sebagai proses penilaian hasil akhir (assessment of learning) dari sebuah aktivitas belajar, tetapi menjadi proses pembelajaran yang terus-menerus. Evaluasi digunakan untuk pembelajaran (assessment for learning) dan sarana pembelajaran itu sendiri (assessment as learning).
Lima solusi
Alternatif evaluasi pendidikan sesudah moratorium yang bisa dipilih adalah sebagai berikut. Pertama, pemerintah perlu lebih mengutamakan model evaluasi yang bersifat formatif daripada sumatif. Evaluasi ini dilakukan guru dan sekolah. Pengutamaan pada penilaian otentik membuat guru dapat memiliki ruang kreasi dan inovasi dalam penilaian pembelajaran, seperti evaluasi melalui rubrik, tugas terstruktur, portofolio, tugas proyek, unjuk kerja, dan penulisan esai.
Kedua, kita tidak perlu bingung mencari alternatif standar evaluasi nasional dengan memindahkan model evaluasi ke daerah. Kebijakan ini akan menambah masalah karena kemampuan daerah dari sisi kapasitas personalia masih kurang. Evaluasi standar nasional bisa mempergunakan tes literasi dan numerasi yang dilakukan tidak harus serentak, dan hanya pada kelas tertentu, seperti kelas II, IV, dan VIII. Tes literasi dan numerasi ini sudah mulai dikembangkan Pusat Penilaian Pendidikan.
Ketiga, agar manipulasi nilai rapor hilang dan pembelajaran otentik terjadi, kebijakan KKM harus dihapuskan. Kebijakan SBMPTN yang memakai jalur undangan juga perlu dihapus. Ujian masuk PTN perlu dilakukan secara obyektif dan fair melalui ujian tertulis sehingga manipulasi nilai rapor tidak terjadi. Seleksi PTN yang obyektif akan memacu sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Keempat, seleksi masuk dari SD ke SMP, SMP ke SMA, diserahkan kepada sekolah masing-masing. Sekolah bisa mempergunakan nilai rapor. Atau kalau nilai rapor tetap terdistorsi, sekolah diperkenankan membuat tes masuk sendiri. Kebijakan ini lama-lama memacu sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran daripada sekadar menampilkan profil akademik baik di rapor.
Kelima, pemerintah perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas guru dan membekali mereka dengan berbagai macam metode penilaian pembelajaran otentik sehingga di sekolah-sekolah terjadi suasana pembelajaran yang kondusif, fokus pada isi kurikulum, tetapi dilaksanakan dalam proses pembelajaran yang dinamis dan kreatif.
Apabila lima hal ini dilakukan, proses pembelajaran di kelas akan lebih bervariasi, siswa memperoleh pengalaman belajar yang otentik, dan menumbuhkan semangat dan gairah belajar yang tinggi. Moratorium UN harus menjadi awal bangkitnya penilaian dan pembelajaran yang otentik. Di sinilah esensi pendidikan itu terjadi.
DONI KOESOEMA A
Pemerhati Pendidikan, Pengajar di Universitas Mutimedia Nusantara, Serpong
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Alternatif Evaluasi Pendidikan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar