Pemilu, Minggu (4/12), dimenangi Alexander Van der Bellen dari Partai Hijau. Ia mengalahkan kandidat ekstrem kanan Norbert Hofer dari Partai Kebebasan. Pada Mei lalu, Bellen hanya menang sangat tipis, sekitar 30.000 suara dari Hofer (0,6 persen). Namun, Mahkamah Agung kemudian mengabulkan gugatan Hofer karena ada kesalahan prosedural dalam penghitungan suara, yaitu ada sejumlah surat suara yang dibuka sebelum pengawas pemilu hadir.
Dalam pemilu ulang, Bellen unggul signifikan sebanyak 6,6 persen suara, atau hampir 10 kali lipat dibandingkan Oktober lalu. Padahal, Hofer dan pendukungnya merasa yakin bahwa ini merupakan momentum bagi partai kanan sesudah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS, yang dianggap menandai dimulainya era populisme.
Partai Hofer yang didirikan para mantan anggota Nazi Jerman secara gencar mengampanyekan propaganda xenofobia yang dipicu banjir pengungsi ke Eropa. Hofer membuat slogan "Austria yang Utama" dengan gagasan- gagasan anti imigran, anti Muslim, anti globalisasi, termasuk anti kemapanan pemerintahan Brussels (Uni Eropa), dan mata uang euro.
Namun, kemenangan Bellen justru mengindikasikan kebalikannya. Bisa jadi, terpilihnya Trump justru memberi sinyal kekhawatiran mayoritas rakyat Austria, yang rata- rata berpendidikan tinggi, tentang masa depan Eropa yang "mengkhawatirkan" setelah Trump terpilih.
Misalnya saja, masa depan hubungan Trans-Atlantik, termasuk relasi AS dengan Rusia. Hofer adalah pihak yang memandang perlunya sebuah relasi yang kuat antara AS dan Rusia. Ia juga menentang sanksi Uni Eropa terhadap Rusia sesudah pendudukan Crimea. Hofer juga menyambut positif langkah Inggris keluar dari UE dan mengisyaratkan Austria mengikuti langkah serupa apabila Brussels tidak mengurangi otoritasnya.
Kemenangan Bellen tentunya melegakan Kanselir Jerman Angela Merkel yang akan bertarung dalam Pemilu 2017. Merkel kini menjadi pilar bagi visi Eropa bersatu dan membutuhkan mitra yang memiliki visi serupa meskipun Merkel menghadapi tantangan serupa di dalam negeri.
Selain Jerman, Perancis dan Belanda juga akan menghadapi pemilu pada tahun depan dan saat ini partai-partai arus utama menghadapi tekanan dari partai ekstrem kanan. Italia juga diperkirakan mempercepat pelaksanaan pemilu, menyusul mundurnya PM Matteo Renzi yang pro Eropa karena kalah dalam referendum terkait revisi konstitusi, Minggu.
Namun, setidaknya, setelah Brexit dan Trump, untuk sementara dunia memperoleh angin segar dari Austria.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Angin Segar dari Austria".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar