Dengan bergabungnya Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan di pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, kekuatan pendukung pemerintah di parlemen mencapai 386 kursi atau 68 persen dari total 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang terbentuk saat pemilihan presiden, praktis sudah berakhir.
Presiden Joko Widodo beberapa kali juga telah bertemu dengan mantan rivalnya di Pilpres 2014, yaitu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
"Sekarang, kalau pemerintah ada maunya, sudah tidak sulit. DPR ini sudah menjadi miliknya pemerintah," demikian seloroh sejumlah politisi di DPR ketika bicara tentang pemetaan politik terkini di parlemen.
Charles E Merriam dalam Political Power: Its Composition and Incidencemenuliskan, esensi politik adalah kekuasaan. Mengejar kekuasaan bukan hal yang tabu dalam politik. Kekuasaan itu idealnya diarahkan untuk mewujudkan kebijakan publik berdasarkan kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Apakah praktik politik di Indonesia sudah ada di garis itu?
Pragmatisme
Perjalanan politik selama satu tahun terakhir ini menunjukkan, alih-alih menjadi penyalur aspirasi rakyat, parpol gagal mereformasi diri dan tenggelam dalam pragmatisme. Akhirnya, hakikat politik terdegradasi, serupa dengan pandangan ilmuwan politik asal Amerika Serikat, Harold D Lasswell; politik memang hanya urusan siapa yang mendapat apa, kapan, dan dengan cara bagaimana.
Jalan menuju Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar pada Mei 2016 menunjukkan, uang ditengarai masih berperan penting dalam politik.
Dua bakal calon ketua umum yang saat itu bersaing ketat, Ade Komarudin dan Setya Novanto, sama-sama dilaporkan ke Komite Etik Munaslub Golkar karena diduga membagi-bagi uang kepada peserta munaslub. Kepengurusan inti Golkar periode 2016-2019 yang dipimpin Novanto sempat menjadi sorotan karena mengakomodasi tiga mantan terpidana.
Setelah menjadi Ketua Umum Golkar, Novanto lalu kembali menjadi Ketua DPR. Padahal, pada Desember 2015, ia menyatakan mundur dari posisi ketua DPR terkait munculnya kasus dugaan permintaan saham PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Setelah Novanto kembali menjadi Ketua DPR, rencana revisi terbatas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menguat. Tujuannya, memberikan satu kursi pimpinan DPR dan MPR kepada PDI Perjuangan yang menjadi partai pemenang Pemilu 2014. Revisi terbatas UU MD3 dengan tujuan sekadar untuk berbagi kursi kekuasaan merupakan kali kedua di periode ini. Sebelumnya, UU yang sama pernah diubah hanya dalam waktu tujuh jam pada Desember 2014. Revisi saat itu bertujuan memberikan tambahan 16 kursi pimpinan alat kelengkapan Dewan untuk partai-partai KIH.
Sementara itu, lagu lama terus dimainkan. Sepanjang tahun, kader parpol berulang kali menjadi target operasi tangkap tangan KPK. Kasus suap ijon program aspirasi DPR di Maluku dan Maluku Utara dengan terdakwa Damayanti Wisnu Putranti (PDI-P) menggambarkan dengan gamblang betapa jabatan publik beramai-ramai dimanfaatkan elite politik untuk menguntungkan diri sendiri.
Pragmatisme yang semakin menjadi-jadi di kalangan parpol itu menurunkan tingkat kepercayaan rakyat sehingga rakyat mencari platform lain untuk menyalurkan suaranya. Di sisi lain, melemahnya peran kekuatan oposisi membuat parpol dan DPR dipandang sebelah mata dalam menjalankan fungsicheck and balance terhadap pemerintah dan jajarannya.
Pembenahan
Dalam berbagai kesempatan, politisi menyalahkan fondasi sistem politik yang berantakan sebagai akar masalah. Salah satunya, sistem pemilihan umum legislatif proporsional terbuka yang menghasilkan politik berbiaya tinggi. Sistem itu melahirkan anggota DPR yang terpilih berdasarkan popularitas dan kemampuan kapital, tetapi minim idealisme dan kompetensi.
Kendati demikian, melihat kondisi parpol saat ini, sistem proporsional tertutup yang memberi mandat tertinggi pada parpol pun belum tentu efektif. Sebab, pada dasarnya parpol belum maksimal menjalankan fungsi perekrutan dan kaderisasi. Sebagian parpol minim "stok" figur pemimpin.
Fenomena pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 menjadi contoh ketika parpol tidak memiliki kader potensial. Dari enam calon gubernur dan wakil gubernur, hanya dua calon yang berlatar belakang kader parpol, yakni Djarot Saiful Hidayat (PDI-P) dan Sandiaga Uno (Partai Gerindra). Sisanya merupakan comotan dari militer, akademisi, ataupun birokrat.
Saat ini, pembenahan sistem kepemiluan sedang dibahas di DPR bersama pemerintah. Panitia Khusus Rancangan Undang- Undang Penyelenggaraan Pemilu dan pemerintah sebenarnya mengusulkan revisi semua UU terkait kepemiluan guna membenahi secara komprehensif sistem politik menjelang Pemilu 2019, termasuk UU MD3 dan UU Partai Politik.
Namun, lagi-lagi, pragmatisme dan kepentingan jangka pendek lebih mendapat tempat. UU MD3 yang mengandung banyak kelemahan belum bisa direvisi secara menyeluruh. Yang ada, revisi terbatas untuk menambah kursi pimpinan legislatif untuk Fraksi PDI-P. Revisi itu tercantum di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 dan dimasukkan kembali dalam daftar prioritas Prolegnas 2017.
Dengan demikian, pada periode 2014-2019, revisi UU MD3 dilakukan hingga tiga kali, yaitu pada 2014, 2016, dan 2017. UU dijadikan alat politik yang bisa diubah kapan saja untuk melegitimasi keinginan yang sedang berkuasa. Membenahi parpol memang ibarat mengurai benang kusut. Tanpa komitmen kuat, benang itu tetap akan semrawut hingga lama-kelamaan tidak lagi berfaedah untuk "menjahit" jubah demokrasi.
AGNES THEODORA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar