Sejarah mencatat, keikhlasan umat Islam menerima bentuk republik bagi negara yang menaungi seluruh penduduk dengan berbagai latar belakang agama, suku, dan golongan di Nusantara yang membuat Indonesia kokoh berdiri hingga saat ini.
Di usia Indonesia yang sangat muda, hubungan Islam dengan negara sempat menimbulkan gejolak yang dampaknya masih terasa hingga kini. Keinginan sebagian umat Islam di Indonesia mendirikan negara Islam (darul Islam) sempat mengobarkan pemberontakan.
Sejak itu dinamika hubungan Islam dengan negara selalu diwarnai tarik ulur yang terkadang menciptakan ketegangan meski tak jarang berakhir menyenangkan. NKRI menjadi harga mati dan Pancasila masih tetap langgeng sebagai ideologi bersama.
Situasi paling mutakhir sempat memunculkan ketegangan ketika terorisme global menjadi ancaman, termasuk di Indonesia. Sebagian umat Islam memahami terorisme muncul akibat ketidakadilan yang dialami umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk penjajahan Israel terhadap rakyat Palestina. Meski persoalan Israel dengan Palestina tidak bisa dipahami secara sederhana sebagai konflik agama semata.
Dinamika yang terjadi di Timur Tengah sebenarnya terlalu rumit untuk diuraikan sebagai konflik yang mengakibatkan umat Islam diperlakukan tak adil. Namun harus diakui, imbas konflik di Timur Tengah juga terasa hingga ke Indonesia. Situasi seperti inilah yang sebenarnya kini dikhawatirkan. Konflik di Timur Tengah dibawa ke Indonesia.
Umat Islam Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar. Salah satunya adalah perang melawan terorisme global dan kesenjangan ekonomi.
Kesenjangan ekonomi di Indonesia, misalnya, dapat menjadi sumbu konflik ketika bagian terbesar dari warga negara, yakni umat Islam, merasa diperlakukan tidak adil. Terorisme yang muncul di Indonesia pun dianggap sebagian kalangan timbul antara lain karena persoalan ekonomi. Meski ide radikalisme juga muncul di kalangan kelas menengah muslim.
Persatuan dan keadilan
Mengapa sebagian kelas menengah Indonesia justru terpapar radikalisme? Demokrasi Indonesia memiliki dua sayap yang tergambar melalui dua sila dalam Pancasila, yakni sayap persatuan dan keadilan.
Jika dua sayap ini bermasalah, keindonesiaan terancam. Ini menjelaskan bahwa mengapa saat Indonesia memiliki bonus demografi dengan jumlah kelas menengah yang lebih besar dari keseluruhan penduduk, ide radikalisme juga di tumbuh di kalangan ini.
Di sisi lain, kelas menengah ini tumbuh di wilayah-wilayah yang bukan menjadienclave ormas Islam yang sejak awal ikut mendirikan Indonesia dengan semangat kebangsaan, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Sebagian kelas menengah ini tumbuh di perguruan tinggi umum yang tak masuk dalam enclave NU dan Muhammadiyah. Wilayah bebas ini menjadi pemasok utama fundamentalis baru. Mereka tumbuh dan mengenal Islam bukan lewat pesantren atau didikan kiai yang memiliki jenjang keilmuan Islam dari khazanah klasik dan perdebatan intelektual.
Sebagian dari mereka inilah dikhawatirkan telah masuk dalam mesin birokrasi. Dengan demikian, tak jarang promosi radikalisme yang mengancam keutuhan bangsa dan demokrasi sebagai sistem hidup bersama di Indonesia justru muncul dari tempat ibadah yang berada di instansi pemerintah ataupun BUMN.
Kelas menengah muslim yang terpapar radikalisme ini merupakan akibat dari transformasi demokrasi yang belum berhasil di Indonesia. Indonesia baru berhasil melakukan transisi demokrasi. Indonesia menyadari bahwa kemajemukan adalah keniscayaan, tetapi konsep kemajemukan masih belum selesai bagi sejumlah kalangan.
Haluan negara tentang bagaimana mengelola kemajemukan ini sangat bergantung pada siapa penguasanya. Akhirnya demokrasi menjadi ajang untuk unjuk identitas diri. Ruang publik menjadi ajang pertarungan identitas, sementara hukum yang seharusnya menjadi haluan tak kunjung mewujud.
Ketiadaan nilai yang seharusnya bisa menjadi acuan bersama terkait kemajemukan bangsa ini membuat demokrasi menjadi pertunjukan identitas kelompok. Situasi ini menjadi ajang kemunculan orang-orang yang bicara agama di ruang publik, tetapi tak jarang justru menjadi ancaman bagi demokrasi dan kemajemukan Indonesia. Media yang seharusnya menjadi pilar demokrasi malah ikut mempromosikan ancaman terhadap demokrasi.
Indonesia sejak awal pendiriannya sebenarnya lahir antara lain karena semangat kebangsaan umat Islam. Jauh sebelum BPUPKI merumuskan dasar negara, Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936 misalnya, merumuskan format ideal bagi Indonesia di masa depan sebagai darussalam, sebuah negara bangsa. NKRI dianggap sebagai bentuk final bagi negara yang menaungi semua warga negara, apa pun latar belakangnya.
Sayangnya, saat fondasi demokrasi terancam, negara baru berpaling pada ormas Islam yang sejak awal mengusung semangat kebangsaan ini. NU dan Muhammadiyah selalu menjadi pemadam kebakaran. Negara malah abai terhadap kiai-kiai yang selama ini mempromosikan Islam yang ramah, toleran, dan menghargai keberagaman. Mereka selama ini tak pernah dipanggungkan oleh negara.
Negara juga belum memberlakukan kebijakan afirmatif yang berpihak kepada mereka yang menjaga NKRI tetap utuh berdiri ini. Jika ini terus dibiarkan, semangat kebangsaan umat Islam yang tersemai sejak negara ini belum berdiri dikhawatirkan pupus, dan Indonesia, negara bangsa yang menjadi tempat bernaung warga dengan berbagai latar bekang, hanya menjadi cerita belaka di masa depan.
KHAERUDIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar