Sejak Pemilu Presiden 2014, masyarakat seolah terbagi dua, antara kelompok pengagum (lover) dan pembenci (hater). Jika pembedanya dulu hanya soal pilihan presiden, kini beragam, mulai dari penyikapan unjuk rasa hingga perdebatan Bumi bulat versus Bumi datar.
Setiap kelompok membangun argumentasi demi menguatkan diri dan kelompoknya serta memengaruhi kepercayaan lawan. Teori konspirasi sering dijadikan pijakan untuk berargumen dengan memanfaatkan informasi dangkal, tak lengkap, dan tanpa data. Teks lebih penting dibandingkan dengan konteks.
Provokasi, cacian, dan fitnah sering menyertai argumen yang disampaikan. Etika, sopan santun, dan penghormatan atas perbedaan tidak dipertimbangkan.
Media sosial membuat pandangan berdasar teori konspirasi yang miskin saringan kian mudah menyebar. Sejumlah tokoh pun menduplikasi pandangan itu hingga teori konspirasi menyebar ke pelosok negeri melintasi batas geografis dan latar belakang sosial, ekonomi, serta pendidikan.
"Masyarakat makin kabur, bingung mana yang benar dan tidak benar, mana informasi bohong atau betul," kata Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi Manado Taufiq Pasiak, Rabu (21/12).
Masyarakat seolah dihadapkan hanya pada dua pilihan yang bertentangan dan menafikan kemungkinan adanya pilihan lain.
Tak berdaya
Repotnya, hampir semua isu yang berkembang dimaknai dengan teori konspirasi. Mulai dari isu tenaga kerja asal Tiongkok, vaksinasi, pengampunan pajak, impor makanan kaleng Thailand, hingga pencetakan uang baru. Bahkan fenomena "Om Telolet Om" dinilai sebagai upaya pendangkalan keyakinan agama.
Kemunculan berbagai teori konspirasi merupakan reaksi atas ketidakberdayaan menghadapi ketidakpastian dan ketidakmampuan mengontrol situasi yang terjadi. Mereka yang menghadapi situasi itu biasanya berusaha memahami dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Usaha itu membuat mereka menghubungkan hal yang di kehidupan nyata belum tentu saling berkait," kata psikolog sosial dari Universitas Vrije Amsterdam, Belanda, Jan-Willem van Prooijen, seperti dikutip time.com, 14 Agustus 2015.
Otak manusia memang memiliki kapasitas luar biasa untuk mengembangkan narasi. Saat tak berdaya dan menghadapi ketakpastian, bagian otak yang disebut amigdala akan menganalisis, menelaah ulang informasi, hingga menciptakan narasi yang koheren dan mudah dipahami.
Namun, otak pada dasarnya membenci keacakan. Manusia takut, situasi acak itu akan menghancurkan mereka.
"Cara termudah melawan ketakutan itu adalah memercayai teori konspirasi sehingga mereka bisa menunjuk orang lain untuk disalahkan," ujar ahli kognitif Universitas Western Australia, Stephan Lewandowsky, seperti dikutip psychologytoday.com, 28 Mei 2015. Manusia memang lebih suka hidup dengan hal-hal konyol dibanding rasa takut.
Namun, umumnya orang akan mengonfirmasi teori konspirasi yang mereka terima. Masalahnya, konfirmasi itu sering menghadapai kesalahan standar, bias konfirmasi yang merupakan penyimpangan dari berpikir kritis. Bias karena mereka hanya mencari informasi pendukung anggapannya atau pikirannya.
Hal yang mereka cari adalah pembenaran, bukan kebenaran. Akibatnya, gunungan bukti diabaikan dan meyakini sejumput bukti paling sesuai pikirannya.
Teori konspirasi umumnya muncul di tengah ketidakpastian dan histeria massal, seperti krisis ekonomi, serangan teror, bencana alam, dan konflik politik.
Psikolog Universitas Westminster, Inggris, Viren Swami, di nytimes.com, 21 Mei 2013, menyebut mereka yang membangun dan percaya teori konspirasi biasanya memiliki pandangan sinis pada dunia atau persoalan politik. Kepercayaan diri untuk memberi arti bagi dunia juga rendah.
Taufiq menambahkan, mudahnya teori konspirasi berkembang di Indonesia tak lepas dari tak terbiasanya masyarakat menalar, berpikir kritis, dan skeptis atas setiap informasi yang diperoleh. Akibatnya, rumor dan gosip pun lebih mudah diterima.
"Bangsa Indonesia tidak cukup mampu mengolah pikiran dan menalar, mereka lebih mengedepankan insting," katanya.
Berpikir kritis
Di tengah derasnya informasi era digital saat ini, ketidakmampuan menalar itu membahayakan. Anak Indonesia akan sulit mengolah informasi, bahkan yang sederhana sekalipun. Kondisi itu sudah jadi keluhan sebagian pengusaha karena banyaknya pekerja yang gagap memahami panduan tertulis kerja.
Dosen kosmologi Institut Teknologi Bandung, Premana W Premadi, saat berpidato di Forum Pidato Kebudayaan, Dewan Kesenian Jakarta, 10 November lalu, menyebut ketakmampuan menalar itu membuat seseorang mudah terdisorientasi karena pijakan logikanya tak kokoh.
Pengetahuan yang mereka miliki belum cukup untuk menilai dan menyaring informasi. Akibatnya, muncul salah pengertian, salah perhitungan, salah paham, dan salah putusan. Persoalan inilah yang sering memicu banyak masalah dan ketegangan dunia.
"Akar semua itu kurangnya latihan berpikir sehingga ruang gerak pikirannya sempit," katanya.
Tanpa kemampuan menalar, sulit menumbuhkan dialog antarkelompok berbeda, bukan kelompok satu ide. Dialog butuh kemampuan bahasa untuk menata dan mengejawantahkan pikiran. Tanpa nalar, dialog hanya akan berisi emosi dan kosakata mentah, tanpa ide atau konten yang bisa dikomunikasikan.
Ketidakmampuan menalar itu juga berbahaya bagi masa depan anak bangsa. Howard Gardner dalam bukuFive Minds for the Future (2007) menyebut kemampuan berpikir yang dibutuhkan di tengah dunia yang mengglobal adalah kemampuan menghargai sesama, menjunjung etika, fokus satu bidang, menyintesis informasi, dan berpikir kreatif. Semua itu butuh nalar.
Karena itu, di tengah kuatnya intoleransi dan kebencian pada kelompok lain, perlu menata ulang pendidikan. Pendidikan harus menekankan nalar agar bisa memahami sebab-akibat dengan runut dan cermat, tak bisa lagi mengutamakan pengoleksian informasi dan pengetahuan secara dogmatis dan menghafal.
Tanpa nalar, bangsa Indonesia akan jadi wayang. Tak hadirnya nalar akan membuat kehidupan kita berbangsa penuh konflik dan gejolak. Hilangnya nalar akan membuat proses demokrasi kita hanya jadi drama hura-hura yang penuh huru-hara.
"Hal yang bisa menghancurkan bangsa ini bukan perbedaan suku, agama, bahasa, atau budaya, tapi cara berpikir," kata Taufiq.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Darurat Pola Pikir".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar