Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 24 Desember 2016

Menanti Realisasi Janji (Kompas)

Buruknya pengawasan distribusi produk farmasi di negeri ini terungkap saat muncul kasus pemalsuan dan penjualan vaksin palsu yang diduga sudah berlangsung selama 13 tahun, Juni 2016. Kepercayaan publik kepada pemerintah pun jatuh ke tingkat terendah karena dinilai tak bisa melindungi anak- anak dari vaksin palsu.

Sebanyak 23 orang ditetapkan sebagai tersangka kasus vaksin palsu. Ada tujuh jenis vaksin, serum, dan anti bisa ular yang dipalsukan. Ada 22 fasilitas dan tenaga kesehatan menerima vaksin palsu. Itu yang diungkap polisi.

Di lain pihak, Badan Pengawas Obat dan Makanan memaparkan temuannya: 37 sarana kesehatan di sembilan provinsi mengadakan vaksinnya dari sumber tidak resmi. Teguran pun dilayangkan Kementerian Kesehatan kepada mereka. Dari 39 sampel yang diambil di 37 sarana kesehatan itu, ada empat vaksin yang palsu.

Sarana layanan kesehatan itu juga wajib melaporkan pengadaan hingga pemakaian vaksin, termasuk pengelolaan limbah, kepada Kementerian Kesehatan tiap bulan selama setahun ke depan. Mereka juga wajib membenahi prosedur operasional pelayanan vaksin.

Publik lalu bertanya-tanya bagaimana bisa vaksin palsu dipakai tenaga kesehatan atau rumah sakit. Keraguan menyeruak pada orangtua yang anaknya divaksin di fasilitas kesehatan yang disebut memakai vaksin palsu. Para orangtua mendatangi fasilitas dan tenaga kesehatan yang memakai vaksin palsu untuk meminta pertanggungjawaban.

Meski secara medis risiko akibat pemberian vaksin palsu relatif rendah mengingat zat yang digunakan tak berbahaya, publik tetap khawatir karena vaksin diberikan kepada anak-anak yang termasuk kelompok rentan terinfeksi. Tak heran saat pendataan untuk imunisasi ulang, banyak orangtua berkonsultasi untuk memastikan vaksin yang diterima anaknya asli atau palsu.

Kasus vaksin palsu jadi kasus bidang kesehatan paling menonjol sepanjang 2016. Sebenarnya, kasus vaksin palsu hanya bagian dari potret besar distribusi produk farmasi yang amburadul.

Dalam keseharian, warga bisa membeli antibiotik tanpa resep dokter di apotek. Sebagian warga pun mengenal obat "setelan" demi mengobati beragam penyakit mulai dari rematik, sakit gigi, hingga batuk pilek dengan harga murah tetapi laku keras di toko kelontong hingga pedagang keliling.

Sebagian masyarakat pernah menemukan ada orang keliling dari rumah ke rumah mencari obat yang belum terpakai. Bahkan, mungkin kita pernah memberikan sisa antibiotik yang kita beli kepada keluarga saat sakit.

Di Pasar Pramuka, misalnya, kita bisa mendapat obat apa pun dengan harga murah. Bahkan, obat yang dipakai untuk menggugurkan kandungan bisa dibeli lewat perantara penjual makanan minuman di sekitar pasar itu.

Fakta-fakta itu jadi mata rantai yang seperti tak terhubung satu sama lain karena kita tak tahu potret besarnya. Padahal, fakta itu menunjukkan, pengawasan tak berjalan semestinya.

Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2014, ada 84,16 persen dari 8.510 sarana kefarmasian, seperti apotek, toko obat, instalasi farmasi rumah sakit, klinik, dan puskesmas, melanggar ketentuan distribusi obat. Tahun 2015, jumlahnya turun menjadi 81,89 persen dari 7.516 sarana.

Pelanggaran yang dilakukan sarana kefarmasian itu antara lain tak berizin, tak punya tenaga kefarmasian, dan penyimpanan obat tak baik. Ada pula yang menjual obat tanpa izin edar, tak memusnahkan obat kedaluwarsa, ataupun menjual obat keras tanpa resep dokter.

Setiap ada kasus penyalahgunaan obat, BPOM jadi sasaran tembak. Padahal, BPOM bertanggung jawab atas pengawasan distribusi produk farmasi jalur resmi, dari produksi hingga distribusi. Ada mekanisme pemeriksaan sebelum produk dipasarkan dan sesudah dipasarkan.

Jalur tak resmi

Namun, pelanggaran selama ini terjadi di jalur tak resmi yang jadi domain penegak hukum. Celakanya, produk farmasi palsu, vaksin, ataupun obat bisa masuk sistem kesehatan karena pengawasan lemah. Pengawasan oleh pemerintah seperti tak jalan. Peredaran produk farmasi tak terkendali, padahal itu diatur ketat distribusi dan penggunaannya.

Melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014, pembinaan dan pengawasan apotek dilimpahkan kepada dinas kesehatan provinsi dan kabupaten atau kota. Demikian juga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 yang menyebut pembinaan dan pengawasan kefarmasian di rumah sakit dilakukan dinas kesehatan provinsi dan kabupaten atau kota. Konsekuensinya, BPOM tak punya kewenangan mengawasi distribusi kefarmasian di sarana kesehatan.

Kewenangan pengawasan produk farmasi terfragmentasi di BPOM, Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah. Pengawasan produk farmasi oleh BPOM dari produsen sampai pedagang besar farmasi, sedangkan pengawasan layanan kefarmasian di apotek, toko obat, dan sarana kesehatan jadi wewenang pemerintah daerah. Fungsi pengawasan itu hampir tak dilakukan pemda karena, antara lain, sumber daya manusia terbatas.

Ironisnya, saat BPOM bertindak dan memberikan rekomendasi kepada pemda ataupun Kementerian Kesehatan, hanya sedikit yang ditindaklanjuti. Saat masuk meja hijau, pelaku pelanggaran distribusi obat sebagai kejahatan kemanusiaan dijatuhi sanksi tak berefek jera.

Angin segar berembus saat Presiden Joko Widodo melantik kepala BPOM yang baru, Penny Kusumastuti Lukito. Presiden berharap Penny bisa memimpin penguatan kelembagaan BPOM sehingga bisa melakukan fungsi pengawasan dari hulu ke hilir. Namun, basis hukum BPOM secara kelembagaan belum kuat sehingga posisinya belum sejajar dengan lembaga pemerintah lain saat menjalin kemitraan.

Selain kedeputian baru di BPOM, yakni Deputi Bidang Kewaspadaan dan Penindakan, dan peraturan presiden tentang kelembagaan BPOM, langkah penguatan lain belum terwujud. Misalnya, undang-undang pengawasan obat dan makanan, pembentukan kantor BPOM di kabupaten atau kota, dan penambahan sumber daya manusia.

Ke depan, pelanggaran distribusi produk farmasi kian pelik seiring pemasaran produk farmasi di dunia maya. Semua pihak terkait perlu bersinergi membenahi sistem pengawasan. Jangan sampai, publik kecewa karena janji pemerintah hanya harapan palsu. (ADHITYA RAMADHAN)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Menanti Realisasi Janji".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger