Persoalan ujian nasional (UN) yang umum adalah bocornya soal, distribusi soal ke sejumlah daerah, UN berbasis komputer (UNBK) yang mengalami banyak hambatan, indeks kejujuran, dan sekarang moratorium UN. Arah kebijakan moratorium dipahami sebagai penghapusan UN. Menghadapi kemungkinan dihapuskannya UN, Provinsi Jawa Barat akan mengembangkan standar kelulusan untuk provinsi ini.
Banyak guru, kepala sekolah, pejabat pendidikan-bahkan ahli pendidikan-terusik dengan kemungkinan penghapusan UN. Menghapus UN adalah sesuatu yang tidak terpikirkan dan tidak masuk akal. Tradisi yang sudah menahun dan UN sudah dianggap sebagai mutiara dalam dunia pendidikan akan hilang, sungguh menyakitkan.
Pertanyaan pun bertaburan, mempersoalkan di mana kualitas pendidikan apabila UN dihapus. Bagaimana dunia pendidikan dapat menentukan mana mereka yang berkualitas dan mana pula yang tidak berkualitas. Bagaimana pula masyarakat dapat mengetahui berapa warga negara yang berkualitas dan yang tak berkualitas apabila UN tidak ada. Pendapat lain mengatakan, UN adalah perwujudan dari pendidikan berdasarkan standar. Jika UN dihapus, pendidikan kehilangan standar kualitas.
Sebenarnya UN ada jauh sebelum Indonesia menerapkan pendidikan berdasarkan standar. Lagi pula, pendidikan berdasarkan standar tidak menghendaki UN sebagai alat seleksi kualitas. Pendidikan berdasarkan standar menghendaki setiap siswa mencapai standar sebagai kualitas minimal. Untuk itu, pendidikan berdasarkan standar lebih menghendaki evaluasi terhadap kualitas satuan pendidikan.
Hasil evaluasi harus dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas sekolah yang buruk, memperbaiki hasil belajar siswa yang tidak memenuhi standar. Pendidikan berdasarkan standar menghendaki warga negara yang paling tidak memiliki kualitas minimal. Perbedaan terjadi bukan di bawah dan di atas standar. Siswa adalah kelompok generasi calon warga negara produktif yang harus dikembangkan potensinya melalui pendidikan, bukan menyaring mereka.
Ruang ketidakadilan
Keberatan terhadap adanya UN telah lama disuarakan ahli pendidikan. Tokoh pendidikan Oejeng Soewargana telah menyuarakan keberatan terhadap UN versi masa itu, tahun 1960-an. Ketidakadilan pendidikan dan penyimpangan dari prinsip penilaian merupakan dua alasan dari sejumlah keberatan almarhum mengenai UN.
Ketidakadilan terjadi ketika siswa yang tak mendapatkan kualitas pelayanan pendidikan yang seharusnya diberi ujian sama dengan mereka yang menerima pelayanan pendidikan yang baik. Ketidakadilan terjadi ketika ujian diberikan kepada siswa yang belum belajar tentang apa yang diuji. Diskriminasi dalam dunia pendidikan pun terjadi.
Adanya UN adalah berdasarkan pandangan bahwa pendidikan harus mampu menyaring hasil pendidikan bermutu dari yang tidak bermutu. Untuk itu, tes berupa UN adalah instrumen untuk menyaring kualitas tersebut. Melalui hasil UN, pendidikan memberikan kepada bangsa ini warga negara yang berkualitas dan yang tidak berkualitas, yaitu mereka yang tidak lulus UN.
Warga negara berkualitas diharapkan menjadi warga negara produktif yang mampu berkontribusi terhadap kesejahteraan kehidupan bangsa. Warga negara yang tak berkualitas tidak mampu memberikan kontribusi tersebut karena memang mereka tidak memiliki kemampuan itu. Mereka akan menjadi beban masyarakat dan bangsa.
Bagaimana dengan hak mereka untuk menjadi manusia berkualitas dan warga negara yang produktif hanya karena mereka tidak menerima haknya mendapatkan pelayanan pendidikan berkualitas? Ini adalah masalah pendidikan yang mendasar karena segala upaya dan pemikiran pendidikan difokuskan agar pendidikan mampu menghasilkan setiap siswa sebagai manusia yang berkualitas. Kurikulum, guru, fasilitas, manajemen, dana, model pembelajaran dan metode, bahkan rekonseptualisasi penilaian hasil belajar terus dikembangkan dan diperbaiki agar pendidikan mampu mengembangkan potensi siswa menjadi manusia berkualitas.
Beda ujian dan evaluasi
Ujian berbeda dengan evaluasi karena ujian selalu menentukan yang lulus dan tidak lulus, sedangkan evaluasi selalu berupaya untuk melakukan perbaikan. Ujian terhadap peserta didik yang belum mendapatkan haknya dalam proses pendidikan berkualitas merupakan suatu pelanggaran terhadap penilaian hasil belajar. Jika bahan ujian tersebut adalah bahan yang sudah dipelajari peserta didik pada waktu UN, kenyataan siswa ternyata belum mempelajari karena bukan kesalahan siswa, dan adalah suatu kewajaran jika mereka tidak dapat menjawab, mengapa mereka yang dikenai akibatnya, dinyatakan tidak lulus? Bukankah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan kemudian diperkuat Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung menyatakan bahwa pemerintah baru diperkenankan melaksanakan UN apabila standar nasional pendidikan (SNP) telah terpenuhi? Pada saat sekarang banyak satuan pendidikan yang masih belum memenuhi SNP, kurang dari 50 persen. Sayangnya, UN tetap dilaksanakan terhadap sekolah yang belum memenuhi SNP.
Evaluasi diamanatkan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 57, 58, dan 59. Jadi bukan ujian. Sesuai amanat pasal-pasal itu, evaluasi nasional pendidikan diperlukan untuk menjaga kualitas pendidikan.
Melalui evaluasi, dapat diidentifikasi kelemahan suatu satuan pendidikan dan upaya perbaikan yang dapat dilakukan. Perbaikan kualitas pelayanan pendidikan memberikan kepada siswa hak mereka mendapatkan pendidikan berkualitas dan menjadikan mereka berkualitas. Proses pembelajaran berkualitas memberikan pelayanan yang selalu terbuka bagi siswa untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kualitas yang dipersyaratkan.
Evaluasi nasional tidak diberikan pada tahun terakhir karena sekolah akan kehilangan kesempatan memperbaiki kualitas peserta didik yang bermasalah. Evaluasi nasional diberikan satu tahun atau paling lambat satu semester sebelum siswa menyelesaikan studinya di suatu satuan pendidikan. Dengan waktu yang tersedia, satuan pendidikan punya kesempatan memperbaiki hasil belajar peserta didiknya.
S HAMID HASAN
Guru Besar Emeritus Universitas Pendidikan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar