Demikian pula wihara. Dari empat wihara yang terdapat di Banda Aceh, tiga di antaranya berdiri di sana. Apakah secara sosio-kultural kampung itu semulia namanya? Tidak juga. Seperti galibnya kampung-kota lain, ada saja problem sosial dan kenakalan remaja yang terjadi.
Namun, untuk masalah konflik bernuansa agama dan keyakinan, jangan harap bisa dipancing. Padahal, beberapa gereja dan wihara posisinya berdekatan dengan masjid dan meunasah (mushala) yang gaung peribadatan dan hilir- mudik umat pasti terasa setiap saat. Ini juga bukan kampung "sekuler". Setiap malam minggu masih terdengar dalailul-khairat: lantunan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan doa kepada ulama terdahulu.
Empiris keberagaman
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Aceh beberapa tahun ini melakukan program pembinaan kampung-kampung keberagaman di Banda Aceh, termasuk Gampong Mulia. Namun, kampung-kampung itu bukan beragam dan toleran karena program itu. Jauh sebelum itu, sejarah keberagaman telah tumbuh bagai pohon yang kokoh, bertunas dan berbuah dalam interaksi sosial, serta akarnya menghunjam dalam kognisi sosial masyarakat.
Secara empiris, fakta keberagaman dan rinai-rinai keunikan telah terbentuk puluhan hingga ratusan tahun. Kampung-kampung toleransi itu menginisiasi dan mempromosi nilai-nilai inklusif yang merupakan hasil interaksi dinamis, baik oleh masyarakat asli, pendatang, urban, dan komunitas diaspora.
Pengalaman itu menunjukkan bahwa masyarakat yang lama berkhidmat dalam keberagaman sebenarnya memiliki daya untuk membangkitkan energi perjumpaan sosial-ekonomi-kultural secara kreatif. Potret mayoritas- minoritas tidak pernah menebal menjadi sumbu konflik di dalam masyarakat seperti itu. Relasi mayoritas-minoritas terkaburkan oleh sikap saling memerlukan dan bergantung. Pandangan itu kemudian membentuk budaya bersama dan hasrat untuk satu; memakai istilah Ernest Renan:Le Desir D'Etre Ensemble. Kampung seperti itu ikut membentuk mekanisme mitigasi konflik sosial secara alamiah dan menjadi bendungan toleransi yang saling menghargai.
Masyarakat pendatang pun tak pernah menajamkan identitasnya sehingga melahirkan sentimen dari kaum tempatan. Masyarakat Tionghoa-Banda Aceh yang sebagian besar beretnis Khek dan Hokkian tak memiliki relasi dan imajinasi dengan tanah leluhurnya. Sebagian mereka berbahasa Aceh dan tidak lagi menguasai aksara Han. Sejarah etnis Tionghoa telah bermigrasi ke Aceh sejak abad ke-13 hingga 1950-an. Peunayong atau pecinan di Banda Aceh telah terbentuk sejak abad ke-18.
Pencarian asal-usul nama Peunayong sendiri juga tidak ditemukan dalam bahasa Mandarin atau sub-bahasa Tionghoa. Hal ini menandakan proses penamaannya berlangsung dialektis, bercampur dengan efek fonetis Aceh. Konon dulu ada kapal Jong dari Tiongkok. Setiap kapal bersandar, penduduk Aceh bertanya kepada orang asing yang datang dalam bahasa "Tarzan": "Apakah ada kapal Jong yang bersandar?" (Peuna ['kapai] Jong?) sehingga terbentuk sebutan Peunayong sebagai kampung bandar bagi komunitas Tionghoa.
Di sini terlihat kultur Tionghoa yang puritan pun bisa berbaur sedemikian rupa dengan kultur tempatan sehingga membentuk budaya baru: masyarakat Tionghoa-Aceh. Seperti menyatunya karakter tim barongsai Aceh pada PON XIX yang mendapatkan perunggu. Dengan apik mereka mengoreografi permainan barongsai dan liong dengan tarian Ratoeh Duek (sejenis Saman perempuan).
Nilai-nilai global baru
Meskipun demikian, kampung-kampung keberagaman yang tentu banyak di seantero Nusantara, jadi penanda kebinekaan, tetap akan menghadapi kendala oleh serbuk "nilai-nilai global baru", seperti fundamentalisme, totaliterisme, eksklusivisme, politik identitas. Merambat secara pasti, nilai-nilai destruktif itu menggerogoti modal sosial serta menelusup di dalam krisis otoritas politik dan kesejahteraan untuk membenarkan hadirnya nilai artifisial itu sebagai identitas "Indonesia baru".
Kita alpa, nilai-nilai primordialisme sempit itu tak tepat lagi didiksikan, apalagi dipraktikkan di era penuh perbedaan seperti saat ini. Indonesia dengan beragam sejarah etnis, budaya, dan agama memang pernah memiliki pengalaman kecelakaan konflik sektarian, tetapi tidak perlu dipuja sebagai sesuatu yang patut dilestarikan. Karena pada saat yang sama, sejarah toleransi dan peradaban keberagaman terjadi lebih banyak lagi.
Di Indonesia, kampung-kampung (keberagaman) itu menghadapi tantangan pada level politik, geografi, dan demografi yang lebih makro, yaitu kota. Masyarakat kampung yang sebelumnya berinteraksi sosial dan merayakan kesenian-kebudayaan bersama komunitas berbeda secara santun tiba-tiba mulai dibatasi dan dikriminalisasi oleh kebijakan pemerintah kota atas nama perda/qanun.
Jika kampung disimbolkan sebagai komunitas alamiah, tempat masyarakat mengabsorpsi pengetahuan (dan agama) secara bijaksana dan tak melupakan nilai-nilai keluhuran lokal, maka kota metafora masyarakat-individu yang retak kekerabatannya tetapi merasa unggul secara intelektual. Mereka mengonsumsi lebih banyak pengetahuan (agama) secara global, tetapi mempraktikkan secara egoistik, salah kaprah, dan artifisial secara lokal.
Jadi, tak heran ketika melihat fenomena fundamentalisme dan radikalisme sesungguhnya wujud ketidaksadaran masyarakat-pelaku atas situasi lokal karena delusi yang dialaminya dalam kontradiksi-kontradiksi global. Fenomena Trump, tragedi Rohingya, dan enigma NIIS adalah bagian kontradiksi global, yang tak patut mencari jalan rajamnya di sini.
Saran penting, jika ingin melihat oase keindonesiaan yang teduh dan sejuk, perhatikanlah kampung-kampung di sekitar Anda. Di sana masih ada masyarakat yang tekun merawat perbedaan demi kebersamaan, yang tak begitu saja lancung untuk mengata-ngatai tetangga beda agama dan etnis sebagai kafir atau musuh. Mereka menyadari bahwa satu kampung adalah satu keluarga. Menyakiti anggota keluarga sama dengan menyakiti diri sendiri karena rasa sesal yang akan berkekalan.
Di kampung-kampung yang berkhidmat terhadap keberagaman kita menemukan Indonesia sesungguhnya. Sebaliknya, terhadap yang khianat (biasanya bukan warga kampung yang baik) kita tak akan menemukan diksi jernih Indonesia di dalamnya.
TEUKU KEMAL FASYA
Dewan Pakar NU Aceh; Baru Menyelesaikan Riset tentang Genealogi Keberagaman dan Inklusi Sosial Banda Aceh, Kerja Sama Lakpesdam NU Aceh dan The Asia Foundation
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Keberagaman".
Saya angkat dua jempol terhadap artikel ini yang bisa membuka mata dan hati kita terhadap harmonisasnya kehidupan dalam keberagaman di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang sering disebut sebagai Serambi Mekkah terhadap hal-hal yang selama ini belum banyak diketahui oleh khalayak umum, terutama yang belum pernah menginjakkan kaki di NAD. Semoga akan bisa menjadi inspirasi untuk terus berupaya mewujudkan Darussalam tidak hanya di Aceh namun di seluruh muka bumi ini.
BalasHapusSalam
HS