Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 21 Desember 2016

Lembaga Perkreditan Desa//Penerbangan Kerja Sama (Surat Pembaca Kompas)

Lembaga Perkreditan Desa

Di harian Kompas edisi Kamis (29/11/2016) ada berita berjudul "LPD Perlu Jadi BPR". Menurut berita itu, pihak Otoritas Jasa Keuangan Wilayah 8 Bali Nusra menyarankan Lembaga Perkreditan Desa berubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat karena asetnya besar, antara Rp 50 miliar dan Rp 100 miliar.

Sepertinya OJK lupa, dalam UU Lembaga Keuangan Mikro (LKM), LPD Bali dibebaskan dari pengaturan karena LPD adalah "lembaga adat". Demikian pula saat pemberlakuan UU Perbankan 1992, LPD juga dibebaskan dari keharusan izin sebagai BPR dengan alasan yang sama.

Pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan penting demi melindungi kepentingan masyarakat penabung, sekaligus menjaga kestabilan sistem keuangan. Dalam pengaturan LKM, dasar pembebasan dari pengaturan adalah sifat keanggotaan: terbuka atau tertutup.

Terbuka apabila LKM menghimpun dana dari masyarakat luas, artinya siapa saja boleh menjadi anggota. Tertutup apabila hanya menghimpun dana dari masyarakat terbatas, hanya orang-orang yang mempunyai "ikatan pemersatu" (common bond) boleh menjadi anggota. Ikatan pemersatu ini bisa lingkungan tempat tinggal (RT, RW, desa), bekerja di perusahaan yang sama, atau hubungan kekeluargaan.

Ikatan pemersatu menimbulkan pengawasan antaranggota, terutama mempunyai "daya tekan" (peer pressure) untuk memenuhi segala kewajiban, dan dengan demikian juga berarti membatasi jumlah anggota. Jadi, tekanannya bukan pada "lembaga adat", melainkan apakah anggotanya mempunyai ikatan sosial yang kuat atau tidak.

Arisan jelas tidak perlu diatur karena kelompoknya kecil, saling kenal dan jumlah uang yang terkumpul tidak banyak. Namun, bank desa yang mempunyai aset besar memang perlu pengawasan yang lebih prudent. Batasan nilai asetnya adalah apabila terjadi kegagalan bank, konsekuensinya mampu ditanggung pemilik dan kreditor atau tidak.

Di Afrika Selatan, misalnya, organisasi berdasarkan keanggotaan yang mempunyai ikatan pemersatu dengan nilai aset di atas 1.500.000 dollar AS berada di bawah pengawasan otoritas perbankan. Tidak hanya untuk bank desa, para pakar mendesak agar koperasi kredit yang bersifat terbuka harus di bawah pengawasan otoritas perbankan.

Otoritas pengawas perbankan ataupun koperasi di Indonesia belum punya visi ke arah ini. Kasus Koperasi Langit Biru dan Cipaganti hanyalah puncak dari gunung es.

SUMANTORO MARTOWIJOYO

Daksa I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Penerbangan Kerja Sama

Jumat, 9 Desember 2016, saya hendak dinas ke Ho Chi Minh City, Vietnam, dengan GA 9461, join flight Garuda Indonesia dengan Vietnam Air. Sayacheck in di counter Vietnam Air Bandara Soekarno-Hatta pukul 11.35.

Namun, e-tiket yang dibeli via situs webGaruda Indonesia (kode booking 7KYS8I, nomor tiket 126 2484332834) tak diterima karena nama yang tertera dianggap berbeda dengan nama di paspor. Pihak Vietnam Air menolak karena nama di tiket hanya nama pertama dan nama keluarga dari tiga patah nama dalam paspor, dan memintare-issued tiket.

Terburu-buru saya ke customer service(CS) Garuda di terminal domestik yang cukup jauh dari terminal keberangkatan internasional. CS Garuda mengatakan tidak dapat re-issued tiket. Saya memohon agar pihak Garuda menjelaskan kepada Vietnam Air lewat telepon, dijawab CS ia tak dapat melakukannya.

Saya meminta pihak Garuda membuat catatan bahwa yang bepergian adalah saya sendiri dengan nama awal dan nama keluarga sebagaimana dalam tiket, bukan orang lain. Petugas menulis bahwa nama pax = nama di dalam paspor = nama di dalam tiket. Namun, Vietnam Air tetap menolak. Saya diminta kembali kecounter Garuda agar tiket saya di-re-route, ternyata Garuda juga tidak bisa melakukan. Saya bolak-balik lebih dari tiga kali.

Pada saat itu, ada penumpang untuk pesawat yang sama, dengan masalah sama dengan saya. Bedanya bapak tersebut memesan tiket dari Vietnam Air dan akhirnya bisa terbang. Saya tidak diizinkan terbang walaupun dapat menunjukkan sejumlah bukti identitas, surat undangan, dan jadwal acara konferensi.

DESIDERIA LUMONGGA DWIHADIAH

Dosen Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci, Tangerang

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger