Keterpurukan harga bahan tambang ini hingga mencapai 40 dollar AS per metrik ton telah membuat perekonomian goyah. Sentra produksi, seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan, terpukul. Saham sejumlah perusahaan tambang batubara merosot tajam. Pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan, ribuan usaha kecil ditutup, jutaan orang menganggur. Implikasinya adalah kriminalitas pun meningkat.
Di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, misalnya, sejak harga batubara terguncang tahun 2013, hampir 600 perusahaan dari total sekitar 1.100 perusahaan tambang gulung tikar dan mati suri. Sekitar 25.000 orang kehilangan pekerjaan.
"Hampir semua pengusaha tambang skala kecil dan menengah yang usahanya sempat terhenti, berat untuk bangkit. Banyak alat berat telanjur ditarik pihakleasing (pemberi pinjaman)," ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim Slamet Brotosiswoyo.
Kondisi itu semakin berat karena perbankan pun meragukan kemampuan pengusaha batubara mengangsur pinjaman. Menurut Bendahara Apindo Kaltim Herjon Song Hadinata, sejak pertengahan 2016, tidak ada bank, juga pemberi pinjaman, yang berani mengabulkan permohonan kredit pengusaha tambang. "Itu pukulan berat bagi pelaku usaha tambang batubara," katanya.
Dampak dari harga jatuh membuat volume produksi batubara di Sumatera Selatan pun turun. Jika tahun 2015 mencapai 32.808.867,97 ton, selama Januari-Oktober 2016, produksi hanya 24.151.147, 88 ton. Pada tahun 2016, dari 40 perusahaan yang memperoleh izin produksi di Sumatera Selatan, ternyata hanya 30 perusahaan yang berproduksi.
Dampak lain adalah jumlah pengangkut batubara semakin berkurang. Tahun 2014, beroperasi 3.000 angkutan batubara di Sumsel, tahun 2016 berkurang menjadi 1.500 angkutan karena mereka merugi.
Secara nasional pun produksi merosot. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam menyebutkan, potensi batubara nasional yang bisa ditambang mencapai 8 miliar ton atau 1,2 persen dari total cadangan dunia. Produksi tahun 2014, misalnya, 435 juta ton atau turun 39 juta ton dibandingkan produksi tahun 2013 mencapai 474 juta ton. Penyerapan dalam negeri berkisar 17-20 persen, selebihnya diekspor.
Geliat baru
Peningkatan harga batubara saat ini mencapai 110,69 dollar AS per metrik ton atau mendekati harga tahun 2011 sebesar 118,4 dollar AS menjadi pemicu bagi kebangkitan usaha tambang batubara. Apalagi diyakini perkembangan ini bukan bersifat temporer. Sebab, faktor pemicu kenaikan harga itu antara lain Tiongkok mengurangi produksi batubara dalam negeri karena biaya pengangkutannya lebih tinggi daripada biaya impor. Bahkan, India pun membutuhkan pasokan batubara dalam jumlah besar untuk kebutuhan pembangkit listrik skala besar yang baru selesai dibangun. Kedua negara tersebut selama ini merupakan tujuan utama ekspor batubara.
Bagi Indonesia, membaiknya harga menjadi angin segar bagi pelaku usaha di sektor pertambangan batubara untuk menggeliatkan bisnisnya. Termasuk berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah, seperti Kalimantan Selatan, yang selama ini sangat ditopang oleh sektor pertambangan batubara.
Sejumlah perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) mulai hidup kembali. Karyawan yang sebelumnya dirumahkan dipanggil kembali untuk bekerja. Sektor usaha pendukung, seperti sewa kendaraan dan alat berat, juga beroperasi lagi. "Ini selanjutnya juga berdampak pada berbagai sektor UMKM, seperti usaha rumah makan, indekos, dan tambal ban," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemegang Izin dan Kontraktor Tambang (Aspektam) Kalsel Muhammad Solikin.
Kondisi itu diakui Sekretaris Perusahaan PT Bukit Asam (PTBA) Adib Ubaidillah. Bagi dia, kenaikan ini tidak bisa menambah produksi batubara karena ada regulasi dan keterbatasan moda transportasi. "Sebenarnya, kami bisa mendorong produksi sampai 50 juta ton per tahun, tetapi kami tak bisa menyalurkannya karena keterbatasan moda transportasi," katanya.
Persoalan lain yang serius adalah meningkatnya kesadaran global untuk mengurangi emisi karbon akan berpengaruh pada permintaan batubara di masa depan. Pada Konferensi Perubahan Iklim (Conference of the Parties/ COP) di Paris pada akhir tahun 2015 mendorong negara-negara peserta untuk mengurangi suhu global di bawah 2 derajat celsius. Salah satunya dengan mengurangi konsumsi energi berbasis fosil. Salah satunya adalah batubara. Selain itu, mulai mengoptimalkan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Saat ini dunia masih memiliki cadangan batubara sekitar 890 miliar ton. Volume sebanyak itu bisa digunakan selama 65 tahun. Akan tetapi, jika kesepakatan Paris tersebut dilaksanakan, kurang lebih 50 persen cadangan batubara itu takkan terpakai.
Tiongkok pun terus menekan konsumsi batubara akibat polusi yang kian mengancam negeri itu. Sebuah studi yang dilakukan beberapa tahun lalu menyimpulkan setiap tahun sekitar 1,6 juta orang meninggal di Tiongkok akibat penyakit jantung, paru, dan stroke yang dipicu polusi udara, terutama asap partikel kecil. Bahkan, emisi dari pembakaran batubara yang digunakan sebagai sumber pembangkit listrik dan pemanas rumah sebagai faktor terbesar dari polusi udara.
Inilah yang menjadi tantangan Indonesia tahun 2017. Itu sebabnya pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat, Kalsel, Arief Budiman, mengingatkan pemerintah daerah jangan sampai terlena dengan kenaikan harga batubara karena bisa saja itu hanya sesaat. Apalagi, batubara merupakan sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui. "Untuk meningkatkan perekonomian daerah, pemda tetap harus mencari alternatif lain dari sumber daya yang bisa diperbarui, misalnya pariwisata. Pengembangan sektor alternatif itu harus mulai dioptimalkan," ujarnya.
(DKA/RAM/PRA/JUM/JAN)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Menebarkan Optimisme".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar