Tindakan tegasnya terhadap pengguna, pengedar, dan penjual narkoba dalam "perang narkoba" juga kontroversial, bahkan memancing reaksi keras dari PBB yang memerintahkan penyelidikan kemungkinan adanya pelanggaran hak asasi manusia.
Ketika menjadi Wali Kota Davao City (1988-2013), Duterte sudah mengobarkan perang melawan narkoba. Sebanyak 1.000 orang tewas menjadi korban perangnya, termasuk tiga orang yang ditembak sendiri. Setelah terpilih menjadi presiden, Juni lalu, Duterte bersumpah, dalam enam bulan akan membersihkan kriminalitas, narkoba, dan korupsi di pemerintahan.
Enam bulan kemudian, sejak Juni, sekitar 5.000 orang tewas dibunuh polisi dan orang tidak dikenal atas restu Duterte. Mereka adalah orang yang dicurigai sebagai pemakai, pengedar, dan penjual narkoba. Sebanyak 15.055 orang ditahan dan lebih dari 868.000 orang menyerahkan diri. Sebagai perbandingan, korban tewas kekuasaan diktator Ferdinand Marcos (berkuasa 1965-1986) 3.240 orang.
Sulit untuk memahami bahwa seorang presiden memerintahkan pembunuhan langsung terhadap rakyatnya meskipun itu terkait dengan peredaran narkoba. Memang, peredaran narkoba di Filipina sangat tinggi. Pada tahun 2012, PBB menyatakan, Filipina menempati urutan pertama dalam penggunaan sabu di Asia Timur. Sebanyak 2,1 persen penduduk Filipina berusia 16 tahun hingga 64 tahun menggunakan narkoba.
Berdasarkan data Philippine Drug Enforcement Agency 2014, sebanyak 40 persen orang yang ditahan polisi berkait dengan kepemilikan narkoba. Sindikat menggunakan anak-anak untuk mengedarkan narkoba. Jika hal itu dibiarkan, menurut Duterte setelah terpilih menjadi presiden, Filipina bisa menjadi narco-state, negara narkotika.
Namun, pertanyaannya, apakah tembak langsung di jalanan, di tempat penangkapan, tanpa melalui proses hukum, merupakan pilihan terbaik dalam perang terhadap narkoba? Tindakan Pemerintah Indonesia yang mengeksekusi mati—setelah melalui proses hukum—terhadap pengedar narkoba saja menuai pro dan kontra, apalagi cara-cara koboi seperti yang dipilih Duterte.
Hukum memang harus ditegakkan. Peredaran narkoba juga harus diberantas bahkan secara tegas, tanpa kompromi, dan tuntas. Namun, pada saat yang bersamaan hak asasi manusia juga harus tetap dihormati. Apalah artinya menegakkan hukum dengan menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan dan harkat serta martabat manusia.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Duterte, Narkoba, dan HAM".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar