Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 27 Desember 2016

Merajut Jaring Penjala Mafia (Kompas)

Zurrahmah hanya tujuh bulan di Arab Saudi. Ia tidak tahan bekerja di negara itu. Selain harus bekerja dari pagi hingga malam, ia kerap diperlakukan kasar oleh majikannya. "Saya pun pernah ditelanjangi dan dikurung di dalam kamar. Karena tidak tahan, saya minta keluar," kata Zurrahmah.

Oleh agennya di Qatar, Zurrahmah dipulangkan ke Indonesia. Namun, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Desa Gelogor, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, itu tidak membawa pulang sepeser uang pun. Di kampung, ia kembali menganggur.

Susmiati, seorang pendamping buruh migran di Lombok, menjelaskan bahwa mekanisasi pertanian dan perubahan peruntukan sawah telah menyedot sebagian besar pekerjaan warga. Mereka yang tidak memiliki cukup pendidikan memilih menjadi pekerja migran dan dikirim ke Timur Tengah.

Apa yang dialami Zurrahmah dialami pula oleh 16 TKI, yang April lalu dibebaskan dari penyekapan di sebuah rumah di Pulau Tarut, Arab Saudi. Mereka masuk ke Arab Saudi melalui Bahrain menggunakan visa ziarah. Dalam catatan Kementerian Luar Negeri RI, di Tarut mereka disewakan dengan tarif 240 riyal atau sekitar Rp 900.000 per hari. Namun, oleh IHY-induk semang mereka-TKI itu hanya dibayar 1.000 riyal atau sekitar Rp 3,6 juta per bulan. Jika tidak ada keluarga yang menyewa, mereka dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial dengan bayaran 500 riyal atau setara dengan Rp 1,7 juta untuk beberapa jam oleh IHY. Dari upah itu, mereka hanya menerima kurang dari setengahnya.

Mendapat laporan tentang persoalan itu, Kedutaan Besar RI di Riyadh segera bergerak cepat. Proses advokasi pun berjalan intensif hingga akhirnya mereka dipulangkan Oktober lalu dan saat ini kasusnya tengah ditangani oleh Bareskrim Polri.

Kemlu memiliki setidaknya tiga catatan terkait modus pengiriman TKI yang terindikasi terjerat sindikat tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pertama, mereka dijanjikan bekerja di sektor formal, tetapi faktanya dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga. Kedua, mereka diberangkatkan dengan visa kunjungan atau visa umrah, yang menjadi modus sangat populer di negara- negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Kategori ketiga, pengiriman TKI antarnegara sebagai salah satu dampak penerapan moratorium yang tidak seragam.

Akar persoalan

Melihat karakter persoalan seperti yang ditemui Kemlu, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, persoalan utama terkait migrasi sebenarnya berada di dalam negeri. Pertama, selain persoalan kemiskinan, ada persoalan sosial yang turut menjadi pemicu, yaitu isu perempuan, seperti tingginya angka putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, dan perkawinan anak. Kedua, lemahnya perlindungan negara pada migrasi yang aman. Ketiga, Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang menjadi basis perekrutan dan penempatan pekerja migran tidak berpihak pada TKI karena memberi peran besar kepada swasta, termasuk aspek perlindungan.

Pemerintah memang tidak tinggal diam. Menindaklanjuti kerja sama enam kementerian dan sejumlah lembaga terkait, ada upaya menangani serta mencegah TPPO. Salah satu yang dibangun adalah kesepahaman dan memperkuat jejaring antara lembaga dan memperluas jangkauan UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Mengacu kasus 16 TKI di Pulau Tarut, aparat penegak dari kepolisian dan kejaksaan bersama staf Kemlu dan Imigrasi menggelar bedah kasus dan mencoba membangun jerat kuat dari penerapan pasal-pasal UU No 21/ 2007. Tak hanya itu, dengan pendampingan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mereka pun membangun kaitan antara kejahatan perdagangan orang dan unsur- unsur kejahatan pencucian uang dalam isu perekrutan hingga penempatan TKI.

Dengan bekal itu, aparat tak hanya akan mampu membekuk pelaku lapangan, tetapi juga perusahaan pengerah dan pemiliknya. Selain itu, untuk memberi jaminan bagi migrasi aman, proses wawancara di kantor Imigrasi pun harus diperketat, mengacu temuan banyaknya TKI pengguna visa umrah.

Lebih dari itu, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kemlu Lalu Muhammad Iqbal mengatakan bahwa perlu peta jalan yang implementatif untuk mengoptimalkan kesepahaman yang ada. Alasannya, moratorium pengiriman TKI ke wilayah-wilayah Timur Tengah tidak bisa terus-menerus diterapkan. Selain itu, perombakan UU perlu segera dituntaskan, bahkan mendesak.

Alasannya-berkaca pada Kaleidoskop Perlindungan WNI tahun 2016 Kemlu-situasi yang dihadapi WNI, khususnya TKI, semakin beragam dan berbahaya. Mereka tidak lagi berhadapan dengan ancaman eksploitasi dan kriminalisasi. Saat ini banyak di antara TKI berhadapan dengan bahaya perang dan penyanderaan.

Kendala

Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan, proses pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Migran di DPR terus dilakukan. Menurut Dede, prosesnya telah berjalan 80 persen. Namun, pada tiga bulan terakhir, pemerintah menangguhkan pembahasan dengan alasan belum sinkronisasi antarlembaga.

"Sampai sekarang masih belum sinkron juga. Masalah terbesar soal kewenangan apakah BNP2TKI atau Kemenaker atau Kemlu yang lebih berperan atau dominan," kata Dede.

Namun, berkaca dari data Kemlu yang menyebutkan bahwa setahun terakhir ada 13.568 kasus yang membelit TKI-separuh di antaranya kasus TKI domestik- keberadaan UU baru yang lebih menjamin keamanan TKI tak lagi bisa ditunda. Selain untuk memperkuat jaring penjala mafia, keberadaan UU itu membuktikan komitmen Indonesia dalam Deklarasi Bali yang dihasilkan Konferensi Regional Asia Pasifik Ke-16 yang digelar ILO, 6-9 Desember lalu.

Deklarasi itu antara lain menyebutkan, pemerintah, pekerja, dan pengusaha sepakat untuk bekerja pada peningkatan kebijakan sesuai dengan standar perburuhan internasional, terutama yang menyangkut prinsip-prinsip perekrutan yang adil, menjamin adanya perlindungan, termasuk memberikan jaminan sosial untuk pekerja. Bagaimanapun, industri penempatan pekerja migran yang sepanjang tahun 2015 meraup dana hingga Rp 184 triliun dari asuransi, proses pengurusan dokumen, hingga remiten itu perlu dikelola demi kesejahteraan pekerja.

(B JOSIE SUSILO HARDIANTO/KHAERUL ANWAR)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Merajut Jaring Penjala Mafia".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger