Sebuah bentuk demokrasi yang berdasar "permusyawaratan/perwakilan", yang lebih mengedepankan konsensus. Demokrasi yang lebih mengedepankan budaya gotong royong meskipun tidak menutup "voting".
Dengan segala kelemahan yang masih ada, Indonesia diperkenalkan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan AS. Ada kesan, penilaian seperti ini hanya dari aspek jumlah penduduk. Karena itu, perjalanan Indonesia dalam menuju sistem demokrasinya mungkin masih perlu kita renungkan bersama. Sudahkah demokrasi yang kita implementasikan merupakan proses politik yang kondusif dalam mewujudkan cita-cita negara kesejahteraan, sesuai prinsip kedaulatan rakyat, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945?
Sistem ketatanegaraan
Perkembangan sistem demokrasi di dunia ternyata banyak bergantung pada perkembangan sejarah setiap negara. Demokrasi dengan sistem parlementer, yang berkembang di Inggris sejak abad XII, merupakan respons terhadap sistem monarki di negara itu, yang menginginkan dikuranginya sistem monarki absolut. Adapun demokrasi sistem presidensial berkembang di AS sejak negara itu terbebas dari kolonialisme Inggris pada akhir abad XVII.
Perjalanan demokrasi di Indonesia ternyata cukup menarik. Pernah menerapkan sistem parlementer di awal 1950-an, "demokrasi terpimpin"-di era Bung Karno-menjelang tahun 1960, dan pernah pula menerapkan demokrasi Pancasila pasca Dekrit Presiden 1959 dengan berbagai versi sampai tahun 1998.
Kini, demokrasi Indonesia berusaha memperkuat sistem presidensial dengan presiden dipilih langsung oleh rakyat, berdasar popular vote. Hal ini dapat dimaklumi karena Indonesia bukan negara federal.
Di era demokrasi sistem parlementer, kabinet (pemerintahan) tidak pernah stabil. Kabinet hanya berumur bulanan, telah dijatuhkan parlemen. Pasca Pemilu 1955 yang dianggap sangat demokratis itu pun, Kabinet Ali, Roem, Idham (koalisi PNI, Masyumi, dan NU) sebagai tiga partai pemenang pemilu juga hanya berumur beberapa bulan. Sementara Konstituante, yang bertugas merumuskan dasar negara, sampai tahun 1959 tidak berhasil menyepakati dasar negara.
Ditambah persoalan bangsa lainnya, antara lain pemberontakan PRRI/Permesta, Bung Karno-dengan dukungan Angkatan Darat-mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945. Dengan kembali ke UUD 1945, kita kembali ke "sistem sendiri", yang dikenal sebagai sistem MPR, mengingat MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang mengangkat presiden- wakil presiden. Presiden-wakil presiden merupakan mandataris MPR, yang berkewajiban melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan bertanggung jawab kepada MPR, yang terdiri atas anggota DPR, Utusan Daerah dan Golongan sebagai representasi seluruh rakyat Indonesia.
Memasuki era reformasi, timbul semangat demokratisasi, antara lain, dengan memperkuat sistem presidensial. Presiden kemudian ditetapkan berdasar pemilihan langsung. Hal ini (mungkin) mencermati pengalaman Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid, yang ternyata mudah dimakzulkan.
Meski demikian, untuk mencegah terjadinya dominasi kekuasaan-baik perorangan maupun kelembagaan-diciptakan mekanisme checks and balances antar-lembaga negara. Karena itu, juga disepakati terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY ), Ombudsman RI, dan lain-lain.
Lembaga legislatif juga ditambah Dewan Perwakilan Daerah (DPD), semacam Senat di AS. Meskipun tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, hanya MPR yang memiliki fungsi mengubah UUD 1945. Semua dipilih secara langsung oleh rakyat.
Apa yang kemudian terjadi?
Banyak berita yang negatif di sekitar implementasi demokrasi di Indonesia. Dari sekadar politik uang sampai penilaian sebagai "democrazy", demokrasi yang kebablasan. UU tentang Pemilu berubah tiap lima tahun sekali. Tidakkah ini mengesankan demokrasi kita sedang berusaha mencari bentuknya yang mantap?
Harapan
Kini, di DPR sedang dibahas RUU tentang Pemilu yang baru untuk pemilu yang akan dilaksanakan serentak pada 2019. Dapatkah kita berharap UU Pemilu yang baru nanti bisa berumur panjang, tidak hanya untuk sekali pemilihan umum, agar pemilu sebagai bagian proses terpenting demokrasi semakin mantap?
Dengan variasi pendapat yang masih berkembang di masyarakat, mungkin tidak mudah untuk merumuskan UU Pemilu yang bisa berlaku lama, apalagi berlaku tetap sepanjang masa. Padahal, kalau kita bisa merumuskan UU Pemilu yang berlaku lama, niscaya energi kita tidak habis membahas RUU Pemilu setiap lima tahun sekali.
Apa yang perlu dipertimbangkan? Pertama adalah peran partai politik. Parpol, betapapun kondisinya, adalah perangkat demokrasi yang penting. Selayaknya kita bisa memberikan peran kepada parpol secara maksimal. Parpol adalah sumber kader kepemimpinan politik nasional. Selayaknya, parpol diberi kepercayaan penuh untuk mengajukan kader terbaiknya dalam daftar calon pada pemilu. Apabila ini dapat disepakati, pencalonan dalam pemilu idealnya berdasar sistem tertutup, sesuai urutan calon yang diajukan oleh parpol.
Tetapi, di pihak lain, masyarakat juga berhak memilih secara bebas calon yang dikehendakinya. Di sinilah tumbuh gagasan sistem pemilu dengan daftar calon terbuka. Dampaknya, calon yang diunggulkan partai, yang tercantum di nomor satu/di atas daftar calon, bisa tidak terpilih. Kompetisi tidak hanya antar-partai, tetapi juga antar-calon separtai. Peran partai setidaknya melemah, di samping menimbulkan kompetisi internal yang bisa tidak sehat.
Adakah sistem pemilu yang mampu mengombinasikan peran/kepentingan partai dan kepentingan masyarakat sebagai pemilih yang bebas? Memenuhi peran partai, sistem pemilu seperti itu hanya mungkin terlaksana dalam sistem pemilu dengan daftar calon tertutup, di mana calon terpilih sesuai dengan urutan daftar calon yang diajukan partai politik.
Bagaimana peran pemilih? Hanya dimungkinkan jika pemilih mengetahui siapa yang pantas dipilih. Kombinasi memenuhi keinginan keduanya, antara kepentingan partai dan pemilih, perlu dipertimbangkan dalam penyusunan UU Pemilu yang baru.
Pertanyaannya, mungkinkah kepentingan partai dan pemilih disatukan? Semestinya harus bisa. Sebab, salah satu tugas partai adalah menampung aspirasi rakyat, di samping mengajukan kader terbaiknya. Penyelenggaraan pemilihan umum seperti itu juga akan lebih sederhana, berbiaya rendah, mengurangi "politik uang" , dan lebih jujur dan adil.
UU Pemilihan Umum seperti itu mungkin akan mampu berumur panjang dan tidak berubah setiap lima tahun sekali. Selain itu juga semakin mendekati sistem pemilu yang sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang kita cita-citakan.
SULASTOMO
Anggota Lembaga Pengkajian MPR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar