Mereka adalah Mobil Oil, Chevron, Shell, BP, Exxon, Gulf Oil, dan Texaco. Mereka menguasai lebih dari 85 persen cadangan minyak dunia. Hanya 1 persen yang dikelola perusahaan negara atau BUMN (national oil company/NOC). Selebihnya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan minyak milik eks Uni Soviet. Kini, kondisi itu berbalik. Porsi IOC tinggal 7 persen. Lebih dari 85 persen migas dunia kini dikuasai NOC dan sisanya Rusia.
Mengapa peran NOC di dunia migas meningkat? Sederhananya begini. Migas adalah sumber daya alam yang tak dapat diperbarui. Dengan ledakan penduduk, permintaannya melonjak terus, sementara cadangan migas dunia juga turun dan menakutkan banyak bangsa. Ini menimbulkan kesadaran, pengelolaan sumber daya migas tak bisa terlalu banyak diserahkan kepada asing, terutama IOC, karena membahayakan ketahanan energi.
Maka, wajar jika banyak negara kemudian mengalihkan pengelolaan sumber daya migas ke NOC-nya. Itu yang membuat peran NOC kini menjadi lebih besar. Ini berbeda dengan kondisi 1990-an saat dunia sedang kelebihan cadangan minyak dan negara pasar seperti Indonesia tengah kalah menghadapi kehendak negara adikuasa pemilik IOC. Bahkan, saat itu ada gagasan dari lembaga keuangan dunia untuk memecah Pertamina menjadi 2-3 perusahaan dengan alasan "ia sudah terlalu besar dan kuat".
Pukulan harga
Beruntung hal itu tidak terjadi. Namun, upaya itu tak pernah berhenti. Padahal, Pertamina justru harus diperbesar untuk menjalankan peran lebih berat di masa depan. Lalu, dalam kondisi demikian, di mana posisi Pertamina hari ini dan perannya dalam menjamin ketahanan energi kita?
Sebelum masuk ke sana, saya ajak Anda melihat kondisi industri migas di dalam negeri dan luar negeri. Di dalam negeri, ladang-ladang minyak kita saat ini sudah dalam kondisi mature. Maksudnya, produksinya sudah melampaui titik tertinggi dan sedang bergerak menurun meski untuk gas, saya lihat, masih ada peluang untuk meningkat.
Sayangnya, penurunan produksi minyak ini tak diimbangi upaya-upaya untuk menemukan cadangan-cadangan baru atau kerap disebut recovery rate (RR). Idealnya tingkat RR industri ini 100 persen. Artinya, kalau kita mengambil 1 barrel minyak mentah dari perut bumi, mesti diimbangi dengan upaya menemukan cadangan dalam volume sama. Kenyataannya RR kita bahkan kurang dari 40 persen.
Masalah lainnya, infrastruktur buruk. Kita terakhir kali membangun kilang lebih dari 20 tahun silam. Lalu, biaya paling murah untuk mengirimkan minyak dari ladang-ladang minyak ke kilang, atau dari kilang ke depo-depo penimbunan, juga dari depo ke stasiun pengisian bahan bakar untuk umum adalah lewat pipa.
Kenyataannya panjang pipa yang sudah kita bangun selama ini jauh dari mencukupi. Misalnya, panjang pipa BBM di Jawa baru mencapai 1.283 kilometer. Padahal, kebutuhannya mencapai 2.239 kilometer. Maka, jadilah minyak mesti kita angkut dengan truk-truk tangki yang lebih rawan kecelakaan dan rawan macet.
Problem berikutnya adalah stok minyak mentah atau hasil olahannya. Saat ini stok BBM kita baru untuk 20 hari. Itu pun sebetulnya stok BBM yang ada di kilang dan depo. Bukan "murni" stok. Kita sama sekali tidak punya tangki timbun untuk BBM. Begitu pula untuk minyak mentah, kita tak punya tangki timbunnya. Jadi, kita tak punya stok minyak mentah. Posisi semacam ini, jika dilihat dari sisi ketahanan energi, jelas kurang menguntungkan.
Itu dari sisi dalam negeri. Sementara, di luar sana industri minyak dunia tengah terpukul seiring turunnya harga minyak menjadi kurang dari 50 dollar AS per barrel. Rendahnya harga ini memukul IOC dan NOC yang biaya produksinya bisa mencapai 60 dollar AS per barrel.
Ini menyebabkan banyak perusahaan minyak, termasuk di AS yang semula naik daun berkat shale oil dan shale gas-nya, terjerembab dalam masalah. Sejumlah produsen shale oil dan shale gas di AS bahkan sudah meminta perlindungan pengadilan (Chapter 11) agar tak dipailitkan kreditornya. Hanya sampai berapa lama bisa bertahan, sementara harga minyak mentah di pasar dunia tak kunjung naik.
Di luar itu, di banyak belahan dunia, banyak ladang minyak yang tiba-tiba tidak laik secara ekonomis akibat rendahnya harga. Padahal, dulu ladang ini layak untuk dieksplorasi.
NOC ke NEC
Apa yang bisa kita maknai dari fakta-fakta itu? Bagaimana pula dengan tugas utama NOC, termasuk Pertamina, dalam menjamin ketahanan energi bagi negaranya? Sejumlah krisis tersebut sejatinya adalah peluang. Apalagi Pertamina mempunyai biaya produksi relatif rendah, berkisar 20 dollar AS per barrel. Maka, meski harga minyak mentah dunia kurang dari 50 dollar AS per barrel, bagi Pertamina dampaknya tak terlalu menyakitkan.
Malah sebaliknya ini menjadi kesempatan bagi Pertamina untuk ekspansi, menguasai ladang- ladang minyak dunia di celah waktu yang sempit dan mungkin tak terulang lagi ini. Faktanya inilah saat pertumbuhan ekonomi dunia sedang berada dalam celah yang dalam, sementara ledakan penduduk dunia tak dapat dihindari. Harga sedang turun, sementara potensi rebutannya di masa depan tak terhindarkan. Jadi, peluang terbesar untuk eksplorasi bukan pada ladang-ladang minyak di dalam negeri, melainkan di luar negeri.
Hanya untuk bisa bersaing di luar, Pertamina mesti terlihat lebih perkasa. Sekarang, kalau bicara ukuran, Pertamina terbilang "mini" dibandingkan perusahaan-perusahaan minyak lainnya. Lihat saja dalam daftar Fortune Global 500 edisi 2016, Pertamina masih menempati urutan ke-230 dengan pendapatan 41,76 miliar dollar AS. Bandingkan dengan raksasa-raksasa migas asal Tiongkok, AS, dan Eropa. Dalam daftar tersebut, China National Petroleum ada di peringkat ketiga dengan 299,3 miliar dollar AS dan Sinopec urutan keempat (294,34 miliar dollar AS). Peringkat kelima ada Shell (272,16 miliar dollar AS dan ExxonMobil keenam (246,2 miliar dollar AS).
Agar mampu memanfaatkan peluang dari jatuhnya harga minyak dan sekaligus menjamin ketahanan energi nasional, Pertamina harus menjadi besar dan berotot. Besar di sini adalah dari sisi aset. Bagaimana caranya? Pertama, menjadikan Pertamina perusahaan induk (holding company) untuk seluruh bisnis migas di Tanah Air. Saat ini memang masih ada pro dan kontra terkait gagasan pembentukan perusahaan induk di sektor migas ini dengan argumen pendukung masing-masing.
Namun, dari sisi ini, kita mungkin bisa belajar dari perusahaan-perusahaan swasta terbesar Indonesia yang manajemennya solid. Sebut saja PT Astra International Tbk. Sebagai holding company, meski besar, Astra tetap mampu secara efektif mengendalikan bisnis ratusan anak usahanya dan beroperasi secara efisien. Dalam hal ini harusnya isu holding jangan dijadikan batu sandungan. Ia adalah peluang untuk me-leverage kemampuan kita dalam mengamankan kebutuhan energi di masa depan.
Kedua, para Bapak Pendiri Bangsa kita sebetulnya sudah berpikiran jauh ke depan ketika menggagas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi atau UU No 8/1971 tentang Pertamina. Semangat dari perppu dan UU tersebut sama, yakni memberikan kekuasaan kepada negara untuk mengelola kekayaan migasnya dan menyerahkan pelaksanaannya kepada perusahaan negara.
Sayang, akibat tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) semasa krisis 1998, kita mengubah UU No 8/1971 dengan UU No 22/ 2001. UU ini bukan hanya memperlakukan Pertamina sama dengan perusahaan lain di bisnis migas, melainkan juga mencabut jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945. UU ini betul-betul menyerahkan urusan bisnis migas pada mekanisme pasar.
Kalau kita mau ketahanan energi di masa depan aman, kita harus punya BUMN minyak kelas global yang kuat. Jangan malu putar arah dengan kembali ke semangat UU yang lama. Biarkan Pertamina menjadi besar sehingga mampu melakukan langkah- langkah besar.
Lalu, Pertamina yang berotot tecermin dari kemampuannya menggalang dana, baik dari dalam maupun luar negeri. Bagaimana caranya? Langkah membuat Pertamina menjadi besar tadi ibarat pepatah "sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui". Maksudnya, upaya menjadikan Pertamina perusahaan raksasa sekaligus membuat BUMN itu bakal mampu menggalang dana dalam jumlah besar.
Kalau ia kuat dan besar, jangan terlalu lama menjadi NOC. Mereka harus segera bertransformasi menjadi national energy company (NEC). Ini sesuai tugas utamanya, yakni menjamin ketersediaan energi, bukan ketersediaan minyak dan gas.
RHENALD KASALI
Guru Besar Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Perusahaan Induk Migas dan Ketahanan Energi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar