"
Iya, Mbak," sahutnya sambil melihat jam tangan. "Saya ingin menemani istri saya makan siang di panti jompo. Sudah lima tahun terakhir ini ia tidak mengenali saya lagi."
"Sudah tidak kenal Bapak, kok, masih mau menemani?" kata perawat itu.
Sambil menepuk punggung tangan si perawat, bapak itu berkata, "Betul, dia tidak mengenali saya, tetapi saya, kan, masih mengenalinya sebagai istri saya!"
Cinta memang bukan sekadar fisik dan perasaan romantis. Cinta juga bukan pemahaman. Cinta adalah pengalaman: merasakan mencintai dan dicintai. Mungkin sang istri tidak mengenali suaminya lagi, tetapi mungkin ia "merasakan" kehadiran dan kesetiaan suaminya.
Itulah kasih sejati. Kita menerima dan mencintai seseorang bukan hanya saat dia mengenali kita. Bukan hanya saat dia sadar, cantik, gagah, atau kaya. Kita mencintai karena kita sadar bahwa kita memang mencintainya, titik.
Natal adalah peristiwa cinta: Allah turun ke dunia masuk ke dalam hiruk-pikuk kehidupan kita, manusia. Allah yang cinta dan berbela rasa pada kehidupan manusia semestinya mendorong kita berbuat sama.
Begitulah Pesan Natal Bersama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dengan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Tahun 2016.
Dengar hati dan budi
Kita bersyukur sedikit demi sedikit kerja pemerintah mulai memberi harapan, terlebih soal keadilan dan kesejahteraan. Memang belum merata karena Indonesia adalah negara besar dengan penduduk yang majemuk pula. Keragaman bisa menjadi kekuatan, tetapi sekaligus rentan menjadi kekisruhan, terutama jika ada kesenjangan sosial dan tidak ada transparansi, kepercayaan, serta kejujuran.
Natal kita rayakan untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus di Bethlehem. Dalam kisah Natal, kehadiran orang- orang majus dari Timur disalah mengerti oleh Herodes. Ketika Herodes mendengar kata-kata "raja" dan "kami datang untuk menyembahnya", ia merasa disaingi. Walau belum tahu sepenuhnya siapa Dia itu, Herodes ketakutan dan terbakar hatinya.
Sama seperti Herodes, suatu masalah yang tidak dihadapi dengan hati yang hening dan budi yang bening bisa memunculkan suatu ketidakjujuran, pembodohan, hingga keputusan fatal. Herodes, pemimpin kala itu, berkata kepada orang-orang majus, "Pergi dan selidikilah Anak itu. Segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya aku pun datang menyembah-Nya."
Jujurkah Herodes? Tidak! Ketika orang-orang majus itu tidak kembali kepadanya, Herodes menjadi emosi. Pikirannya panas, menghasilkan perilaku membahayakan bahkan mematikan orang lain: Herodes menyuruh membunuh semua anak yang berumur di bawah dua tahun, di Bethlehem dan sekitarnya, sesuai waktu yang diketahui dari orang-orang majus itu.
Kisah ini masih berlaku hingga kini. Apa yang dibuat Herodes masih dibuat oleh kita. Sifat Herodes bisa muncul pada kepala daerah, kepala dinas, kepala keluarga, dan diri kita. Kita tidak bisa memisahkan dan memilah persoalan. Kita enggan mencari keheningan agar hati jernih dan budi menjadi bening.
Peringatan Natal semestinya mengajak kita semua bersukacita mensyukuri pembangunan yang diupayakan pemerintah dengan memperbaiki pelayanan publik, dari penegakan hukum, pembangunan infrastruktur, hingga peningkatan kualitas pendidikan. Walaupun belum sesuai harapan, kita merasakan ada kemajuan. Pengalaman keberhasilan ini seiring warta malaikat kepada para gembala, "Aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa" (PGI dan KWI 2016).
Namun, niat baik pemerintah memang tidak akan berjalan baik dan lancar jika manusianya lebih reaktif daripada reflektif. Keheningan hati dituntut dari kita semua. Bukan emosi, bukan pula teriakan keras yang dikedepankan. Kebeningan budi turut mengawal hati. Budi yang bening akan mengakui keberhasilan orang lain dan dengan rendah hati mau bekerja sama demi kemakmuran, kemajuan, dan keadilan banyak orang. Namun, di tengah ribuan orang pintar yang setiap tahun diwisuda, di manakah pemikiran kritis dan suara mereka? Kiranya Indonesia butuh serius menangani pendidikan suara hati!
Keprihatinan
Selain catatan keberhasilan, kita mengakui ada berbagai hal yang masih perlu kita tingkatkan penanganannya. Masalah suku, agama, ras, dan antargolongan yang semakin mencuat, juga korupsi dan pungli yang masih merajalela, kemiskinan, bahkan juga peredaran dan pemakaian narkoba, sungguh merusak masa depan bangsa.
Dalam hal demokrasi, kita pun punya pekerjaan rumah yang tidak mudah. Pada 15 Februari 2017, kualitas dan praksis demokrasi kita diuji kembali. Pemilihan umum kepala daerah serentak sebagai sarana mematangkan demokrasi kita menjadi ujian bagi partisipasi sekaligus praktik berpolitik masyarakat dan peningkatan kualitas pelaksanaan pesta demokrasi. Semua tantangan kemanusiaan ini harus kita hadapi. Warta malaikat kepada para gembala meneguhkan kita dengan mengatakan, "Jangan takut."
Kita sebagai warga negara dipanggil untuk ambil bagian sesuai tugas dan panggilan kita saat ini. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari kisah kelahiran Yesus. Ada pemimpin dan elite politik (Herodes), orang-orang pandai dan terdidik (orang- orang majus), ada pemimpin dan ahli agama (imam dan ahli Taurat), ada orang kecil dan sederhana (para gembala), ada keluarga dan anak-anak (Yosef, Maria, dan bayi Yesus).
Jangan menjadi Herodes, yang penuh kebencian, menggenggam erat kekuasaan dan uang, mematikan semua yang hening dan bening. Bukalah hati dan budi agar tidak mati. Biarkanlah hati bernyanyi nyaring, bergerak melihat penderitaan dan keprihatinan di sekitarnya. Sekali lagi, kita perlu pendidikan suara hati!
Jika orang-orang yang mumpuni berani menyuarakan suara hati, Silent Night, Holy Night akan dialami oleh banyak orang. Orang yang menyediakan waktu untuk masuk ke lubuk hatinya, mendengarkan suara hati, dialah yang mendengarkan warta Allah bagi diri dan orang-orang sekitarnya. Dialah pemimpin yang akan membela rakyatnya; dialah sang guru yang mengajar dengan bijak; dialah pemimpin agama yang berujar penuh kedamaian. Holy night sungguh bisa mewujudkan kedamaian di masyarakat Indonesia.
Sebagaimana cinta adalah pengalaman dan rasa, demikian juga toleransi dan hormat kepada sesama manusia. Toleransi adalah suatu pengalaman: hidup bersama saling menghormati dengan kejujuran hati. Selamat Natal. Semoga Anda semua dalam keheningan hati dan kebeningan budi.
J KRISTANTO S PR
Rektor Seminari Tinggi St Paulus, Kentungan, Yogyakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Desember 2016, di halaman 1 dengan judul "Keheningan Hati dan Kebeningan Budi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar