Optimisme itu yang ditegaskan Presiden Joko Widodo di pengujung akhir tahun 2016. Meski ada ketidakpastian global dan dinamika politik dalam negeri, tumbuhnya sentimentalisme agama dan terungkapnya potensi kekerasan, optimisme, dan harapan menjadi keharusan.
Kecemasan dan kekhawatiran berlebihan bisa menciptakan neurosis dan paranoia. Sebaliknya, menyadari kondisi riil bisa membuka horizon lebih utuh tentang eksistensi manusia: menjadi putus harapan atau membangun optimisme yang berpengharapan.
Pesan klasik filosof Soren Kierkegaard, hidup senantiasa disertai kecemasan merupakan keniscayaan. Dalam kondisi riil di sini dan saat ini, itu artinya eling lan waspada. Sikap ini bukan turunan skeptisisme dan kecurigaan, melainkan tahap awal bangunan upaya sikap optimistis berpengharapan dan bukan pesimisme tanpa harapan.
Dalam perayaan keagamaan Kristiani, Natal—kelahiran Sang Immanuel (Allah beserta kita)—yang terutama dibangun adalah optimisme berpengharapan.Magnificat (Ia yang Mahabesar), nyanyian pujian dan syukur menjadi lebih bernas dan bermakna justru di tengah kondisi serba mencemaskan dan mengkhawatirkan.
Ketika optimisme dibangun sebagai jawaban atas kondisi kemerosotan moral dan keterpecahan bangsa tidak terpenuhi, terbentang harapan. Kita hidup dalam sebuah komunitas bangsa yang berpengharapan. Harapan yang dibangun atas sikap optimisme eksistensial dalam dunia riil sebagai dinamika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu syarat tolok ukur bangunan optimisme membutuhkan prasyarat penting konsolidasi seluruh elemen masyarakat. Bagi pengusaha, yang dibutuhkan adalah keamanan dan kemudahan untuk berusaha. Perampingan birokrasi, kemudahan perizinan, pemberantasan korupsi, dan pembangunan infrastruktur menjadi prasyarat.
Namun, menjadi kontraproduktif ketika sejumlah syarat tidak terpenuhi. Dinamika politik, kata halus menyebut kecurangan politik (mengutip Hannah Arendt), menjadi kendala berkembangnya optimisme berpengharapan. Dinamika politik dengan semangat "menghalalkan segala cara" (petuah salah kaprah Niccolo Machiavelli) menciptakan pesimisme tak berpengharapan.
Merayakan Natal 2016 berarti membangun sikap optimisme yang berpengharapan. Magnificat, pujian dan syukur di tengah kondisi Indonesia di akhir 2016 terasa merdu. Selamat Natal 25 Desember 2016 bagi yang merayakan!
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Optimisme yang Berpengharapan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar