Perasaan cemas sempat berkecamuk.
Beberapa pekan belakangan ini, sejumlah penggerebekan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menunjukkan, masih ada pihak-pihak yang ingin mengobrak-abrik kedamaian di negeri ini.
Dalam penggerebekan di Bekasi, 10 Desember, misalnya, aparat menangkap tiga terduga teroris yang berniat meledakkan bom bunuh diri di Istana Negara. Di Tangerang Selatan, 20 Desember, aparat menangkap seorang terduga teroris dan menembak mati tiga terduga teroris lain yang merakit bom untuk diledakkan saat Natal.
Mereka merupakan bagian dari jaringan teroris Bahrun Naim (33) yang memimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Bahrun adalah dalang aksi bom Sarinah di Jakarta Pusat, 14 Januari 2016.
Serentetan penggerebekan pelaku teror pun terus digencarkan, seperti di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau. Kemarin, Densus 88 juga menggerebek dan menembak dua terduga teroris di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat.
Presiden Joko Widodo pertengahan Desember lalu memang telah menegaskan, tidak boleh ada ruang sekecil apa pun di Indonesia bagi terorisme. Presiden pun mengajak masyarakat bersatu memerangi terorisme. Langkah tegas dan ajakan dari Presiden itu tentunya perlu direspons sungguh-sungguh oleh semua elemen bangsa.
Banyak teori menjelaskan mengapa terorisme tumbuh subur, seperti soal kemiskinan dan kebodohan, alasan politik hingga keyakinan, juga persoalan lingkungan tempat tinggal. Itu semua menunjukkan bahwa terorisme tak mungkin diselesaikan oleh satu elemen, tetapi oleh semua elemen bangsa. Terorisme tak mungkin diselesaikan dengan penindakan semata, tetapi juga perlu cara-cara persuasif.
Persoalan serius yang juga belum mendapat banyak perhatian adalah gencarnya perekrutan pada kalangan muda. Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menunjukkan, 47,3 persen pelaku tindak pidana terorisme berusia 20-30 tahun. Selama 2016, bahkan lima anak di bawah usia 18 tahun ditangkap Densus 88 karena terlibat dalam pembuatan bom. Mereka terpengaruh oleh lingkungan sosial dan media sosial.
Fenomena ini jelas menunjukkan bahwa menyerahkan penanggulangan terorisme hanya pada pundak pemerintah tidak akan cukup.
Dengan semangat Natal, kita tularkan perasaan kasih di lingkungan, menggantikan angkara. Kita viralkan ungkapan kasih di media sosial, bukan ujaran kebencian. Kita bangun kehidupan, bukan menghancurkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar