Pelaku di Kabupaten Sabu Raijua melukai tujuh siswa di SD Negeri 1 Sabu Barat, Nusa Tenggara Timur, yang tengah belajar di kelas. Pelaku yang diduga mengalami masalah kejiwaan akhirnya tewas dihakimi massa.
Di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, seorang pelajar SMA 1 Muhammadiyah Yogyakarta tewas ditikam oleh pelajar SMA di daerah Bantul saat bersama teman-temannya pulang dari berwisata di Gunung Kidul.
Di Lamongan, Jawa Timur, 16 santri pondok pesantren di Kranji, Kecamatan Paciran, disangka menyebabkan tewasnya seorang santri. Para pelaku menganiaya korban karena menduga korban mencuri uang dan hard disk milik santri lain. Sementara di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, gadis berusia 10 tahun ditemukan tewas di dekat rumahnya. Pelaku kekerasan belum diketahui.
Kekerasan terhadap anak, apalagi sampai menyebabkan kematian, seharusnya tidak terjadi lagi, di tengah upaya pemerintah meningkatkan perlindungan pada anak. Kita masih ingat Presiden Joko Widodo sampai perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak ketika kekerasan seksual terhadap anak semakin keji.
Yang lebih memprihatinkan, kekerasan dilakukan sesama anak atau remaja. Kekerasan seksual yang menewaskan Yy di Bengkulu dan melahirkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 dilakukan sekelompok remaja. Kekerasan di Bantul dan Lamongan juga dilakukan remaja.
Kita sulit menerima penjelasan kekerasan itu hanya kenakalan remaja seperti diucapkan seorang pejabat Polri. Dengan mereduksi kekerasan sebagai kenakalan, masyarakat seolah diminta memaklumi kekerasan.
Kita tidak tahu dengan tepat jumlah kekerasan yang dilakukan remaja dari waktu ke waktu. Akan tetapi, kita mengetahui melalui berita media, kekerasan tersebut biasanya dilakukan berkelompok oleh remaja pria, alasan melakukan kekerasan sering kali karena hal sepele, dan pelaku tidak segan menggunakan senjata mematikan.
Kalau kita meyakini usia remaja adalah masa mencari jati diri dan remaja memerlukan model peran, kita mendesak pemerintah mencari solusi segera. Kita tidak ingin remaja kita kelak menjadi warga negara yang menghalalkan kekerasan dalam menunjukkan jati diri.
Banyak saran sudah diberikan untuk mencegah kekerasan pada dan oleh remaja, salah satunya melalui proses pembelajaran perilaku damai dan toleran terhadap perbedaan sejak usia dini. Kini kita ingin penanganan menyeluruh segera dilaksanakan sebagai perwujudan jargon Revolusi Mental.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Hentikan Segera Kekerasan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar