Berdasarkan laporan Badan Intelijen Pusat AS (CIA) yang diungkap The Washington Post, Rusia ikut berperan mendiskreditkan Hillary Clinton sebagai upaya memenangkan Donald Trump. Bentuknya antara lain melalui peretasan surat-surat elektronik yang kemudian dikirim ke Wikileaks dan oleh Wikileaks disebarkan ke publik.
Seperti kita ketahui, menjelang Konvensi Demokrat dan beberapa pekan menjelang pemilu AS, kubu Hillary Clinton diterjang berbagai pembocoran surat elektronik milik para petinggi Partai Demokrat yang secara tidak langsung mengurangi kepercayaan publik terhadap Hillary. Pada saat itu, Hillary telah menuduh ada campur tangan Rusia untuk menjatuhkannya. Namun, CIA justru menyudutkan Hillary dengan membuka kembali kasus penggunaan surat elektronik pribadi semasa menjadi menteri luar negeri.
Kini, ketika CIA mengeluarkan laporan resmi soal keterlibatan Rusia, Trump menyangkal dan mengatakan bahwa tuduhan itu "menggelikan" serta hanya akal-akalan Demokrat yang tidak mau menerima kekalahan.
Seakan "menantang", Trump malah sengaja memilih beberapa anggota kabinet yang memiliki kedekatan dengan Rusia ataupun Presiden Vladimir Putin, di antaranya CEO Exxon Mobil Rex W Tillerson yang dijadikan menteri luar negeri. Sikap "menggertak lebih dulu lawan" ini kerap ditunjukkan Trump antara lain ketika ia menuduh pemilu curang dan tidak akan menerima hasil pemilu. Padahal, kini terbukti bahwa kubu Hillary-lah yang "dicurangi".
Langkah Kongres AS untuk membentuk panel penyelidikan menimbulkan dilema bagi kubu Republik. Di satu sisi, para petinggi Republik tidak ingin berkonfrontasi langsung dengan Trump yang masih berkonsentrasi membentuk pemerintahan. Di sisi lain, kenyataan bahwa ada pihak asing yang bisa mengaduk-aduk sistem politik AS tentulah menjadi tamparan yang memalukan bagi AS.
Persoalan berikutnya, seberapa jauh penyelidikan ini akan diungkap kepada publik. Dan yang paling krusial, seberapa jauh hal itu bisa memengaruhi legitimasi Trump yang akan dilantik pada Januari 2017?
Kubu Republik ingin penyelidikan itu ditangani oleh komite intelijen yang berada di bawah Senat dan DPR yang mayoritas dikuasai Republik. Sementara Demokrat khawatir, jika penyelidikan dilakukan melalui Senat dan DPR, hasilnya tidak diungkap ke publik. Oleh karena itu, mereka mendorong agar dibentuk komisi penyelidikan independen.
Disinformasi dan penyebaran berita bohong melalui kecanggihan teknologi kini menjadi musuh yang mengkhawatirkan di sejumlah negara karena sudah terbukti bisa memecah belah rakyat, menjatuhkan lawan politik secara tidak adil, dan mengotori proses demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar