Gejala deindustrialisasi yang berlangsung sejak 2001 ini perlu segera dicari akar masalahnya dan "obat" yang cespleng.
Dari sembilan agenda prioritas di Nawacita yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-Kalla, ada tiga agenda yang terkait dengan pengembangan industri. Pertama, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedua, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Arah kebijakan pembangunan industri nasional telah digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019. Publikasi Kementerian Perindustrian yang berjudul Industry Facts and Figures 2016 menyatakan, pembangunan industri diarahkan pada pengembangan perwilayahan industri di luar Pulau Jawa, penumbuhan populasi industri, serta peningkatan daya saing dan produktivitas.
Pengembangan wilayah industri mencakup wilayah pusat yang berada di koridor ekonomi, kawasan industri, sentra industri kecil dan menengah (IKM), kawasan ekonomi khusus, kawasan berikat, dan juga kawasan perdagangan bebas.
Penumbuhan populasi industri dilakukan dengan menambah setidaknya sekitar 9.000 industri berskala besar dan sedang dengan harapan 50 persen tumbuh di luar Jawa serta tumbuhnya 20.000 unit usaha industri kecil. Peningkatan daya saing dan produktivitas dengan berbagai strategi, termasuk peningkatan efisiensi teknis, penguasaan iptek dan inovasi, pengembangan produk baru, fasilitasi dan pemberian insentif untuk meningkatkan daya saing.
Berbagai paket kebijakan sudah diluncurkan. Kita mencatat setidaknya pemerintah berupaya meningkatkan nilai tambah sektor terbesar penyumbang PDB ini lewat beberapa langkah. Pertama, dengan hilirisasi industri.
Kedua, strategi akselerasi industri dengan memberikan insentif fiskal berupa tax holiday untuk delapan industri utama, pengembangan infrastruktur dengan skema kemitraan pemerintah-swasta (public-private partnership), Daftar Negatif Investasi dengan Peraturan Presiden No 44 Tahun 2016 setidaknya untuk getah karet dan bahan baku farmasi.
Ketiga, berbagai kebijakan pendukung termasuk konektivitas penyediaan energi dan peningkatan tenaga kerja terampil untuk industri.
Sayangnya, efektivitas kebijakan tersebut mulai dipertanyakan. Sektor industri masih "jalan di tempat" dan tumbuh di bawah laju pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor ini menghadapi masalah deindustrialisasi berupa menurunnya jumlah perusahaan, menciutnya penciptaan lapangan kerja, dan menurunnya sumbangan industri terhadap PDB.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, dari 2006 hingga 2014 jumlah perusahaan besar di Indonesia cenderung menurun. Jumlah perusahaan besar tahun 2006 sebanyak 29.468 kemudian menurun hingga 2014 menjadi 24.529. Namun, kenaikan jumlah perusahaan tidak diikuti dengan kenaikan penyerapan tenaga kerja. Inilah yang disebut jobless growth. Kenaikan upah minimum di sejumlah daerah yang mencapai 8-20 persen menyebabkan banyak industri mengurangi karyawan tetapnya dan lebih suka menggunakan tenaga kontrak atau paruh waktu.
Indikator deindustrialisasi yang lain adalah menurunnya sumbangan industri manufaktur terhadap PDB. Kontribusi sektor industri triwulan III-2016 tinggal 19,9 persen, anjlok dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang masih di atas 20 persen bahkan pernah 29 persen. Bahkan apabila dirinci, pada triwulan ketiga 2016, sektor industri nonmigas hanya menyumbang sebesar 17,82 persen dari PDB Indonesia.
Akar penyebab
Ada beberapa penyebab deindustrialisasi. Pertama, gejala deindustrialisasi telah menjadi isu besar di negara-negara maju ataupun berkembang, termasuk Indonesia, dengan hengkangnya pabrik-pabrik industri pengolahan ke India, Vietnam, dan lain-lain untuk mengejar upah buruh yang lebih murah. Bagi industri padat karya, komponen upah dan gaji pekerja berkisar antara 12-34 persen dari total biaya. Untuk industri yang tergolongfootloose atau cost minimisers, perusahaan gampang hengkang ke daerah atau negara lain yang menawarkan upah buruh lebih murah.
Kedua, di negara-negara lain, gejala deindustrialisasi muncul belum terlalu lama, terutama disebabkan oleh masuknya produk-produk murah dari Tiongkok. Sejak perjanjian Area Perdagangan Bebas (FTA) diberlakukan, maraknya barang-barang impor dari Tiongkok yang harganya murah dan kualitasnya rendah telah merontokkan industri lokal satu demi satu atau setidaknya mengurangi pangsa pasar produk-produk industri dalam negeri. Faktor luar, persaingan dari Tiongkok yang dengan penuh kekuatan membanjiri dunia dengan produk industrinya. Ini belum ditambah dengan liberalisasi produk dan jasa setelah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Ketiga, semakin meningkatnya negara kita menjadi negara yang konsumtif. Hal ini nantinya dapat dibuktikan dengan porsi konsumsi rumah tangga yang berkisar antara 55-58 persen selama tahun terakhir, meningkatkan ketergantungan kepada negara-negara pengekspor barang manufaktur, dan masih tingginya kandungan impor di hampir sebagian besar industri nasional.
Masih lemahnya struktur industri Indonesia, ditambah dengan era perdagangan bebas yang sudah diberlakukan sekarang tentunya membawa dampak semakin berpotensinya Indonesia menjadi negara konsumtif. Pasalnya, kebutuhan masyarakat terhadap suatu barang tentunya akan selalu ada, bahkan tarafnya akan selalu meningkat dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya jika kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh bangsa sendiri, impor negara ini akan makin meningkat. Kita buru-buru beralih ke strategi promosi ekspor, padahal strategi substitusi impor belum tuntas dilakukan untuk industri manufaktur utama.
Keempat, masih kurangnya dukungan universitas dan lembaga riset dalam membantu mengatasi masalah utama yang dihadapi oleh industri. Masih minimnya hak paten (HAKI), rendahnya riset yang berorientasi industri, serta minimnya publikasi dosen dan peneliti merupakan fakta yang perlu diatasi oleh kementerian terkait. Akibatnya bagi sektor industri adalah lambatnya transfer teknologi, kurang proaktif dalam penetrasi pasar ekspor, lemahnya pengembangan produk, ataupun perbaikan proses produksi.
Harus diakui kita tertinggal dari negara-negara lain dalam kemitraan antara industri dan universitas/lembaga riset. Padahal kisah sukses industri Jepang dan Korea Selatan ditopang oleh kemitraan antara universitas dan industri yang amat mendukung pengembangan sistem inovasi nasional, mengelola ketidakpastian teknologi, dan juga memanfaatkan sistem kekayaan intelektual.
Transformasi ke negara industri
Kita perlu belajar dari pengalaman Jepang menata industri dan meningkatkan daya saingnya. Mekanisme Pemerintah Jepang mengarahkan perkembangan ekonomi disebut gyosei-shido, semacam panduan administratif yang mencakup insentif perdagangan, pasar tenaga kerja, persaingan, dan perpajakan (Ken Duck, "Now That the Fog Has Lifted: The Impact of Japan's Administrative Procedures Law on the Regulation of Industry and Market Governance", Fordham International Law Journal, 19(4), 1995).
Di bidang industri setidaknya ada tiga elemen kebijakan. Pertama, mengembangkan sektor industri manufaktur yang memiliki daya saing yang tinggi. Kedua, restrukturisasi industri secara terencana menuju industri yang memiliki produktivitas, penyerap tenaga kerja, penyumbang nilai tambah dan devisa tinggi. Ketiga, strategi bisnis internasional dan domestik yang agresif.
Dalam konteks inilah, sektor industri agaknya membutuhkan reformasi kebijakan yang mendasar. Mungkin berupa paket kebijakan yang lebih menyeluruh, holistik, dan tidak hanya "dibebankan" kepada Kementerian Perindustrian. Inilah yang disebut strategi reindustrialisasi.
Pertama, menghentikan gejala deindustrialisasi dengan mengkaji sumber dan akar masalah yang dihadapi semua subsektor dan kluster industri. Studi Suhardi dan Kuncoro (2013) menemukan bahwa deindustrialisasi tekstil dan garmen di Surakarta dan Karanganyar diakibatkan oleh meningkatnya upah buruh, harga BBM, biaya bunga dan sewa, serta berbagai pungutan liar.
Kedua, insentif fiskal dan nonfiskal perlu diberikan bagi industri yang banyak menyerap tenaga kerja, pencipta nilai tambah tinggi, dan berorientasi ekspor, baik berupa fasilitas pajak, kawasan khusus, maupun kemudahan perizinan.
Ketiga, perlu rencana aksi yang jelas bagaimana menggenjot hilirisasi dan hulunisasi industri. Hulunisasi hakikatnya adalah strategi substitusi impor masih perlu difokuskan untuk industri yang masih memiliki kandungan impor yang tinggi. Sebaliknya, hilirasasi adalah menumbuhkembangkan industri hilir di bidang agribisnis yang memiliki potensi besar seperti perikanan, kakao, dan kelapa sawit.
Keempat, pengembangan penyebaran dan pemerataan industri di luar Jawa, dengan pembangunan kawasan industri, perlu dipercepat. Hal ini sesuai arahan Presiden Jokowi untuk mewujudkan Indonesia sentris, bukan Jawa sentris. Pemerintah menargetkan menciptakan 14 kawasan industri di luar Jawa. Harus diakui, kebijakan industri kita selama ini bersifat aspasial (spaceless), mengabaikan di mana lokasi industri berada. Perspektif baru kebijakan industri lebih mendukung tindakan horizontal dan menolak target sektoral. Perspektif spasial pembangunan industri, dengan berbasis kluster, merupakan salah satu faktor kunci yang dapat membantu pemerintah pusat dan daerah merumuskan kebijakan industri.
Observasi di lapangan menunjukkan, setidaknya ada empat kendala dalam mengembangkan industri di luar Pulau Jawa, yaitu infrastruktur, tata ruang, sumber daya manusia (SDM), dan minat pembangunan. Pertama, infrastruktur pendukung seperti jalan, rel kereta api, pelabuhan, dan air kondisinya kurang memadai. Kedua, terkait tata ruang, belum semua kabupaten atau kota telah mempersiapkan rencana tata ruang wilayah (RTRW), khususnya kawasan industri.
Permasalahan berikutnya adalah SDM, sebab kemampuan tenaga kerja dan SDM industrial yang terlatih di daerah masih kurang. Kondisi ini turut membuat pertumbuhan industri di luar Pulau Jawa tidak sepesat Pulau Jawa. Terakhir, minat swasta untuk membangun kawasan industri yang baru, terutama ke luar Jawa, juga masih kurang. Dengan berbagai reformasi kebijakan tersebut, target RPJMN dan Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional tidak mustahil akan dicapai. Sejarah yang nanti akan mencatat apakah Indonesia akan menjadi negara industri atau jasa pada 2030?
MUDRAJAD KUNCORO
Ketua Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi FEB UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar