Yang menjadi persoalan adalah mengapa pengetahuan akan sumber gempa bumi ini baru didapatkan sesudah bencana terjadi, mengapa tidak ada hasil penelitian yang menjelaskan sumber gempa bumi ini sebelumnya. Tentu saja kejadian gempa bumi tidak dapat diprediksi, tetapi pemahaman akan sumber gempa bumi yang baik dapat membantu kita melakukan mitigasi untuk mengurangi risikonya.
Hal yang sama terjadi pada saat kejadian gempa bumi Takengon 2013, gempa bumi Samudra Hindia 2012, gempa bumi Padang 2009, gempa bumi Yogyakarta 2006, bahkan gempa bumi Aceh 2004, tidak pernah kita mengetahui potensi ancamannya sebelum bencana terjadi. Pengetahuan kita selalu tertinggal dari kejadian bencananya.
Dalam kerangka International Sendai 2015 untuk pengurangan risiko bencana, memahami risiko merupakan prioritas pertama. Bagian dari memahami risiko ini adalah mengetahui musuh yang akan mengancam kita. Tidak mungkin kita bisa melakukan upaya mitigasi atau pengurangan risiko bencana dengan terarah tanpa mengetahui dengan baik ancaman kita.
Pemahaman kita akan ancaman bisa berubah seiring dengan pengetahuan yang kita miliki dan penelitian yang kita lakukan. Karena itu, penelitian harus menjadi fondasi dalam upaya pengurangan risiko bencana yang terarah. Apabila mitigasi digambarkan sebagai sebuah investasi untuk mengurangi kerugian di masa depan, baik kerugian ekonomi ataupun jiwa, tanpa pengetahuan yang benar kita bisa saja sedang melakukan investasi di tempat dan cara yang tidak tepat.
Penelitian gempa bumi
Infrastruktur pengurangan risiko kebencanaan kita memang telah berkembang dengan signifikan pasca gempa bumi Aceh 2004. Hal ini ditandai dengan pengesahan UU No 24/2007 yang diikuti dengan berdirinya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di sejumlah daerah. Namun, perkembangan penelitian kebencanaan tidak secepat perkembangan struktural ini.
Untuk menghasilkan produk penelitian yang baik, selain diperlukan dana yang besar juga diperlukan kesabaran dan konsistensi karena sering kali hasil penelitian baru bisa didapatkan bertahun-tahun kemudian. Sebagai contoh, tidak kurang dari empat tahun bagi penulis dalam melakukan penelitian di Sesar Lembang, untuk bisa menyimpulkan status dan tingkat aktivitasnya sehingga bisa menjadi hasil penelitian yang dapat dipublikasikan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Begitu pula sumber gempa bumi lainnya di Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan, tetapi hanya puluhan yang telah terkuantifikasi dengan baik. Dengan demikian, jika tidak ada upaya yang serius dan sistematis untuk memahami sumber gempa ini, maka merupakan suatu keniscayaan apabila gempa bumi kembali menjadi bencana di masa depan.
Persoalan lain dalam penelitian gempa bumi karena sifat alami dari penelitiannya yang lintas keilmuan dan lintas instansi. Untuk menghasilkan peta potensi gempa (seismic hazard map), diperlukan penelitian geologi, seismologi, geodesi, geoteknik, dan struktur. Dalam dunia penelitian perguruan tinggi yang hanya menekankan linieritas, hal ini akan tidak mudah untuk dilakukan. Kemudian penelitian ini juga memerlukan ketersediaan data pengamatan kegempaan, topografi detail, pergeseran, struktur lapisan tanah, dan lain-lain. Data ini dikelola oleh instansi yang berbeda di Indonesia.
Menyadari sifat alami dari penelitian kegempaan ini, Pemerintah Jepang membentuk suatu komite nasional untuk gempa bumi, yang terdiri dari peneliti beberapa instansi dan perguruan tinggi. Begitu pula di Amerika, mereka membentuk suatu konsorsium penelitian gempa yang mereka namakan Headquarters for Earthquake Research Promotion (HERP).
Dengan potensi gempa yang sangat tinggi dan sebagian besar belum didefinisikan dengan baik, Indonesia memerlukan adanya pusat penelitian gempa bumi dengan skala nasional. Pembentukan ini telah coba diinisiasi oleh para peneliti dari beberapa instansi (PUPR, BNPB, BMKG, Badan Geologi, BIG, LIPI, ITB, dan UGM) dalam satu tahun terakhir ini dengan bergabung membentuk Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen).
Capaian dalam satu tahun terakhir dari Pusgen yaitu terkarakterisasinya beberapa sumber gempa bumi di Indonesia dan menjadi masukan penting dalam proses pembaruan peta gempa Indonesia 2016. Namun, proses ini akan menjadi sia-sia apabila tidak ada upaya nasional untuk mengembangkan Pusgen karena keanggotaannya bersifat sukarela. Sangat penting adanya komitmen nasional yang memungkinkan dilakukannya penelitian jangka panjang dan akses akan data beberapa instansi.
Apabila kita mengacu pada data Scopus akan jumlah publikasi hasil penelitian gempa bumi yang dihasilkan peneliti dari Indonesia pada kurun 2010-2016 hanya berjumlah 530 publikasi dan kita bandingkan penelitian yang sama oleh peneliti dari Jepang yaitu 8.641, kita sedikit lebih baik dari Singapura (negara tanpa sumber gempa) yang berjumlah 313.
Merupakan suatu ironi negara dengan jumlah sumber gempa bumi yang salah satu terbesar di dunia memiliki penelitian yang sangat sedikit.
Dalam kondisi darurat penelitian gempa bumi ini, Pusgen harus didukung sehingga memiliki kapasitas penelitian sebaik Komite Nasional Gempa Jepang atau NEHRP di Amerika.
IRWAN MEILANO
Dosen Kelompok Keahlian Geodesi, Wakil Ketua Pusat Penelitian Mitigasi Bencana ITB
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Darurat Penelitian Gempa Bumi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar