Revisi UU Anti Terorisme sedang dibahas DPR. Daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diajukan 10 fraksi DPR dengan mengakomodasi pelibatan TNI tidak hanya dalam konteks tugas perbantuan terhadap Polri, tetapi juga pemberian kewenangan tugas kepada satuan anti teror TNI dalam pencegahan dan penindakan aksi terorisme.
Sejumlah fraksi DPR menambahkan pasal khusus, yakni Pasal 35, yang memberikan kewenangan khusus kepada TNI untuk menindak secara langsung aksi terorisme terhadap tujuh obyek vital yang dibatasi secara limitatif oleh undang-undang. Keterlibatan TNI antara lain dibatasi untuk aksi terorisme dengan subyek presiden/wapres dan keluarga, WNI di luar negeri, kedutaan besar RI di luar negeri, serta kapal laut dan pesawat terbang di wilayah Indonesia.
Meski demikian, tetaplah perlu ditegaskan batasan apa yang bisa dilakukan TNI dalam penanggulangan terorisme tersebut. Penegakan hukum tetap menjadi domain Polri. Apakah perlu ada pasal khusus dalam UU Anti Terorisme untuk memberikan peran kepada TNI, tetap perlu dipertimbangkan. Ataukah cukup TNI bekerja atas instruksi Presiden selaku penguasa tertinggi tentara?
Terorisme bukanlah fenomena baru dalam sejarah manusia. Kekerasan digunakan manusia sejak awal dunia ada. Namun, dalam perkembangannya, terorisme digunakan terhadap kelompok yang tidak sejalan, kepada pemerintah yang tidak sealiran. Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Kita dorong substansi UU Anti Terorisme mengedepankan aspek pencegahan. Bagaimana menangani WNI yang bersumpah setia kepada organisasi lain dan ikut berjuang bersama mereka di luar negeri? Selain soal pencegahan, UU Anti Terorisme perlu mengatur soal bagaimana penanganan korban teror. UU Anti Terorisme perlu memberikan ruang menjerat orang yang memanfaatkan dunia maya menyebarkan paham radikal. Sebuah penelitian menunjukkan, masa depan terorisme akan mengandalkan media sosial sebagai instrumen penyebaran.
UU Anti Terorisme harus ditujukan untuk mencegah terjadinya terorisme sebelum aksi teror itu terjadi. Perspektif keamanan dan perilaku teror bisa saja berbeda. Perencana teror akan berupaya merencanakan 1.000 aksi teror, tetapi cukup satu saja aksi teror yang berhasil. Sebaliknya, petugas keamanan harus bisa mendeteksi dan mencegah 1.000 aksi teror yang direncanakan karena jika satu aksi teror bisa dilakukan, aparat keamanan akan disebut kecolongan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Mengantisipasi Terorisme".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar