Tiga komunitas intelijen AS—Biro Investigasi Federal AS (FBI), Intelijen Nasional, dan Badan Intelijen Pusat AS (CIA)—bersatu pendapat bahwa Rusia telah dengan sengaja meretas proses pemilihan presiden AS November silam. Tujuan peretasan itu adalah untuk memenangkan Donald Trump kandidat dari Partai Republik.
Menurut mereka, Rusia meretas server Komite Nasional Demokrat dan akun surat elektronik (surel) John Podesta, manajer kampanye Hillary Clinton, kandidat dari Partai Demokrat. Sejak semula, Hillary Clinton meyakini bahwa ada campur tangan Rusia dalam proses pemilu. Bahkan, Hillary Clinton pun sempat menuding Direktur FBI James B Comey menjadi "penyebab" kekalahannya ketika pada pekan terakhir sebelum pemilu masih mempersoalkan surelnya.
Meskipun ketiga komunitas intelijen tersebut sudah mengungkapkan temuan mereka, Trump membantah hal tersebut. Trump bukan hanya tidak memercayai hasil temuan tersebut. Trump bahkan "melecehkan" komunitas intelijen dengan menyatakan bahwa laporan CIA tentang kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Saddam Hussein, yang jadi pemicu pecahnya perang Irak, tidak benar.
Ini sebuah kenyataan baru di AS bahwa seorang presiden terpilih tidak memercayai komunitas intelijen. Dengan demikian, Trump akan mengawali masa pemerintahannya dengan posisi yang berseberangan dengan lembaga intelijen. Hal ini akan berakibat negatif terhadap hubungan antara komunitas intelijen dan presiden.
Hasil temuan intelijen tersebut, memang, tidak mengubah hasil pemilu. Akan tetapi, temuan tersebut bisa memengaruhi kepercayaan publik terhadap sistem pemilu, soal independensi, soal kerahasiaan, juga terhadap kecanggihan teknologi yang digunakan AS untuk mengamankan pemilu mereka.
Yang lebih penting lagi adalah bahwa kemenangan seorang kandidat presiden AS "dibantu" kekuatan asing dan kekuatan asing itu adalah Rusia, yang selama ini merupakan musuh utama AS. Pertanyaannya adalah bagaimana kebijakan luar negeri AS ke depan terhadap Rusia setelah presiden baru dilantik, bukankah Trump "berutang" kepada Rusia.
Terlepas dari semua itu, yang akan menjadi catatan panjang dalam sejarah pemilu di AS, kita bisa membayangkan kalau AS yang sudah demikian maju, juga sangat maju dalam teknologi pun, bisa diterobos, diretas oleh Rusia, bagaimana dengan negara lain, yang kalah maju dibandingkan dengan AS. Bukan tidak mungkin pemilu di Indonesia pun bisa mengalami hal yang sama, apalagi kecurangan merupakan hal biasa terjadi di negeri ini.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar