Diskusi berlangsung pada 6 Desember, dihadiri tokoh-tokoh organisasi dari berbagai agama. Diskusi berkesimpulan agar pasal-pasal pidana dalam pembahasan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mencantumkan pidana mati.
Kesimpulan ini didasarkan pada empat premis pokok. Pertama, publik masih meragukan kinerja aparat hukum untuk menghadirkan keadilan. Kedua, hukuman mati belum terbukti menekan kriminalitas. Ketiga, hak hidup dijamin oleh Deklarasi HAM dan Konvensi Hak Sipil serta diakui dalam Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945. Keempat, 142 negara sudah menghapus hukuman mati, yang masih mempertahankan, termasuk Indonesia, tinggal 44.
Iblis yang dibutuhkan
Suatu masyarakat modern yang menerapkan moratorium hukuman mati sebenarnya tidak menyuarakan pesan tentang hak hidup, tetapi mengekspresikan suatu kerancuan moral.
Betapa tidak. Apabila kita mendorong moratorium dan penghapusan hukuman mati, sama artinya dengan mengatakan kepada sang pembunuh bahwa apa pun yang dia lakukan terhadap korbannya, miliknya paling berharga, yaitu hidupnya sendiri, tetap terjamin. Dengan kata lain, hak hidupnya, kita jamin in advance, walaupun dia sendiri telah melenyapkan hak hidup orang lain, tidak peduli apakah itu anak-anak, perempuan, orang tua, atau penjaga keamanan.
Bangsa yang mendeklarasi bahwa apa pun tidak akan bisa mendorongnya untuk berperang, cepat atau lambat, akan menjadi sasaran rezim angkara murka. Maka analog dengan ini, suatu masyarakat yang sok human, yang enggan mematikan penjahatnya yang terburuk, akan menjadi bulan-bulanan penjahat yang seenaknya membunuh mereka yang tidak bersalah.
Hukuman mati, death penalty, bukan buah simalakama yang membuat kita serba salah. Ia mengharuskan kita membuat pilihan, betapa pun pahitnya, demi kebaikan. Hukuman mati ibarat iblis yang masih diniscayakan, a necessary evil. Perlu dipertahankan dan dinyatakanin advance.
Kewajiban asasi manusia
Benar bahwa aparat hukum kita umumnya masih jauh dari sempurna. Namun, kekurangan ini bukan penyebab kasus pembunuhan. Kita memang perlu menyempurnakan aparat tersebut di samping memantapkan kesadaran hukum di kalangan warga, paling sedikit di lapisan yang terdidik. Berarti, seperti praktik perkuliahan pada awal-awal kemerdekaan, setiap mahasiswa dari disiplin apa pun wajib mengikuti kuliah "pengantar hukum" dan diuji agar asumsi "everyone should know the law" menjadi satu kenyataan. Dunia boleh runtuh, tapi hukum tetap tegak. Dan, NKRI adalah negara hukum.
Benar bahwa hukuman mati belum mengurangi kriminalitas. Namun, hal ini bukan berarti tidak punya efek jera. Semua kriminalis yang tertangkap dan terbukti bersalah pada minta ampun. Tidak satu terpidana pun mati yang senyum ketika menjalani hukuman mati.
Yang tidak jera adalah kriminalis yang belum tertangkap. Mereka nekat berbuat salah yang terancam hukuman mati berhubung iming-imingan untung besar apabila tidak sedang apes. Mereka bertindak sesuai teori peluang (probability theory).
Mengapa kita selalu menonjolkan hak asasi manusia (HAM)? Jangan lupa bahwa di sebelah "hak asasi" ada "kewajiban asasi" (KAM) sebab kedua kebajikan tersebut adalah dua sisi dari koin yang sama. Yang merupakan masalah moral bukan hanya the rights of man tetapi juga the rights of others,termasuk the fundamental rights of the earth and the country (hak mendasar dari bumi dan negeri). Berarti aku tidak punya hak, aku hanya punya kewajiban. Dan aku punya hak hanya karena orang (pihak) lain. Jadi, makhluk manusia lebih dahulu punya kewajiban dan hanya hak orang (pihak) lain yang diutamakan.
Presiden Kennedy pernah berujar ". ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country". Semua (sepuluh) perintah Tuhan yang diterima Moses di Gunung Sinai bernuansa kewajiban, thou shall not.. Bagi orang beradab (sila ke-2 Pancasila) kiranya diharapkan membicarakan dulu "kewajibannya", baru sesudah itu menyuarakan "hak" yang terkait dengan kewajiban tadi.
Benar bahwa jumlah negara yang menghapus hukuman mati cenderung meningkat. Namun, bukan berarti bahwa (pemerintahan) mereka lebih "human" daripada kita. Berbeda tidak dengan sendirinya berarti lebih buruk. Kenyataan menunjukkan bahwa situasi dan kondisi kehidupan kita sehari-hari semakin terancam oleh bahaya narkoba hingga Presiden Joko Widodo menyatakan perang terhadap narkoba.
Hukum mati bandar narkoba, teroris, dan radikalis
Narkoba memang tidak segera mematikan, tetapi jauh lebih kejam daripada pembunuhan. Pencandu narkoba yang masih hidup direduksi menjadi "mayat hidup". Adalah tragedi kehidupan jika apa-apa mati dalam diri, padahal masih bernapas.
Masa depannya artifisial, menjadi beban orangtua dan keluarga. Usaha penyembuhannya tidak jarang menjadi tanggungan masyarakat. Yang meninggal, menurut Presiden, 15.000 orang setiap tahun. Mereka adalah generasi muda yang sedianya menjadi penerus bangsa dan harapan negara. Namun, berapa bandar dan pengedar narkoba yang mati setiap tahun dalam keadaan bebas bergelimang dosa?
Mereka mati setelah lama menikmati hidup mewah. Mereka nekat melakukan usaha yang begitu riskan, bukan karena desakan pemuasan hidup minimum, melainkan karena dorongan nafsu hidup bergelimang aneka kemewahan, sudah hidup di "surga" sewaktu masih di dunia. Mereka mampu menyewa pengacara kondang, menyogok penguasa negara, bahkan membayar pembunuh andal selaku pengawal guna menjamin eksistensi mereka.
Para bandar narkoba pantas diburu guna dihukum mati tanpa ampun. Sebenarnya kematian begini masih jauh lebih ringan daripada kejahatan yang telah mereka lakukan. Eksekusi mati yang dialaminya itu hanya satu kali, sedangkan mereka telah menyiksa korbannya berkali-kali dalam rentang waktu relatif lama. Di sini tidak ada pelanggaran HAM. Mereka sendiri yang telah memerkosa HAM, bahkan membunuhnya dengan sadar dan sengaja.
Berbagai modus dipakai sindikat narkoba internasional untuk memasukkan asupan maut tersebut ke Indonesia. Dari Tiongkok, misalnya, ada narkoba yang dimasukkan ke dalam tiang pancang setebal 4 sentimeter, ada pula yang menyisipkannya ke dalam lukisan Bunda Maria.
Menilik gelagatnya, ada usaha sistematik untuk menghancurkan rakyat dan bangsa Indonesia melalui konsumerisasi narkoba, persis sama dengan serangan "perang candu" yang telah menghancurkan kerajaan Tiongkok dan Korea pada abad-19. Maka, upaya Presiden Joko Widodo memerangi narkoba harus kita dukung sekuat tenaga.
Dewasa ini bergentayangan sejenis lain pembunuh, yaitu terorisme dan radikalisme. Ia tak kurang kejam karena membunuh secara acak (at random) dan berafiliasi dengan sekelompok teror global. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan, terorisme harus dianggap sebagai musuh negara. Berarti kepada teroris-sang pelaku diberlakukan hukuman mati, setimpal dengan kejahatannya. Maka menurut Presiden, tak ada ruang bagi terorisme, jadi jangan lengah!
Akhirnya jangan anggap sepele gerakan kelompok radikal berjubah agama. Sebab menurut Adjie Suradji (Kompas, 23/11), agama bisa dijadikan pembentuk kekuatan dahsyat dalam membangkitkan identitas emosional massa dibandingkan identitas sosial lain. Agama bisa memicu konflik bereskalasi mengerikan dengan intensitas tinggi, yang bisa memecah belah persatuan bangsa.
Mungkin para pembunuh berdarah dingin ini adalah borok-borok terkutuk dari pergaulan bawaan peradaban. Sebab peradaban, civilization, tidak berasal dari perbuatan Abel, tetapi dikembangkan sejak awal oleh Kain, sang pembunuh.
DAOED JOESOEF
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
Tidak ada komentar:
Posting Komentar