Pemerintah Jepang menarik pulang duta besar dan konsul jenderalnya dari Korsel serta menghentikan semua pembicaraan kerja sama ekonomi akhir pekan lalu setelah aktivis pembela perempuan korban perbudakan seksual oleh militer Jepang saat Perang Dunia II meletakkan patung ianfu di luar Konsulat Jenderal Jepang di Busan.
Patung perempuan dengan burung kecil di pundak tersebut merupakan replika patung sejenis yang dipasang di seberang gedung Kedutaan Besar Jepang di Seoul. Patung itu menjadi simbol penolakan aktivis terhadap kesepakatan antara Pemerintah Korsel dan Jepang tahun lalu untuk menyelesaikan kasus ianfu di Korsel.
Pemerintah Jepang telah meminta maaf dan menjanjikan kompensasi 1 miliar yen bagi korban kekerasan seksual militer Jepang. Namun, bagi aktivis, permintaan maaf dan kompensasi tersebut dianggap tidak cukup menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia itu.
Isu ianfu menjadi sandungan hubungan kedua negara. Butuh waktu panjang bagi Jepang mengakui antara tahun 1938 dan 1945 pemerintahan militer Jepang merekrut paksa sekitar 200.000 perempuan di beberapa negara Asia, termasuk Korsel, Filipina, dan Indonesia. Mereka ditempatkan di tempat-tempat khusus untuk menuntaskan masalah seks tentara Jepang di medan perang.
Namun, pada tahun 1992 Perdana Menteri Kiichi Miyazawa meminta maaf kepada Korsel. Pada tahun 1995 PM Tomiichi Murayama menyusul meminta maaf kepada semua korban, khususnya dari Asia.
Pemerintahan PM Shinzo Abe pada awal menjabat tahun 2006 sempat mempertimbangkan permintaan maaf tentang ianfu meskipun akhirnya meminta maaf kepada Korsel. Meningkatnya kehadiran militer Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan yang mengganggu hubungan dagang Jepang dan Korsel ikut mendorong kesepakatan dua negara menyelesaikan isu ianfu.
Protes aktivis pembela ianfu Korsel terhadap kesepakatan antara Pemerintah Korsel dan Pemerintah Jepang di Busan bertepatan dengan pemakzulan Presiden Korsel Park Geun-hye oleh parlemen Korsel. Tahun lalu disepakati penyelesaian bersifat mengikat begitu Pemerintah Jepang memenuhi kewajibannya.
Namun, reaksi Pemerintah Korsel untuk hanya mempertimbangkan penyingkiran patung tersebut tampaknya dianggap Jepang tidak mendukung kesepakatan.
Dalam politik, kita tahu yang permanen adalah kepentingan bersama. Pemerintah Korsel tampaknya saat ini lebih memilih menunggu penetapan nasib Presiden Park oleh Mahkamah Konstitusi Korsel sebelum mengambil sikap atas kesepakatan tahun lalu.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Hubungan Korsel-Jepang Terganggu".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar